Imām Ibnu Hazm rahimahullāh dalam buku beliau yang berjudul al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal , beliau berkata :

فَإِن سيرة مُحَمَّد صلى الله عَلَيْهِ وَسلم لمن تدبرها تَقْتَضِي تَصْدِيقه ضَرُورَة وَتشهد لَهُ بِأَنَّهُ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم حَقًا فَلَو لم تكن لَهُ معْجزَة غير سيرته صلى الله عَلَيْهِ وَسلم لكفى

“Sesungguhnya sirah (perjalanan hidup) Muhammad ﷺ bagi siapa yang menelaah dan menghayatinya, akan mengharuskannya untuk membenarkan Nabi dan bersaksi bahwa beliau adalah benar-benar utusan Allah. Seandainya tidak ada mukjizat Nabi selain sirah beliau maka itu sudah cukup” (al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal 2/73)

Beliau menjelaskan bahwa “Barangsiapa yang membaca sirah Nabi ﷺ dari awal sampai akhir (bagaimana akhlaq dan sikap Beliau) dengan penuh penghayatan, maka dia akan masuk Islam.”

Bahkan Imam Ibnu Hazm sampai-sampai menegaskan : “Kalau seandainya mukjizat Nabi ﷺ tidak ada kecuali hanya sirahnya saja, maka itu sudah cukup.” Karenanya sirah Nabi Muhammad ﷺ sejatinya adalah mukjizat tersendiri. Kita tahu Nabi ﷺ dianugerahi banyak mukjizat; seperti Isrā Mi’rāj, air yang keluar dari tangan beliau, berkah beliau meludahi orang yang sakit kemudian sembuh (sebagaimana ‘Ali bin Abi Thālib yang matanya sakit kemudian diludahi oleh Nabi ﷺ lalu sembuh) dan mukjizat abadi dan terbesar, yaitu Al-Qurān. Namun di antara sekian banyak mukjizat tersebut menurut Ibnu Hazm rahimahullāh, sirah Nabi itu adalah mukjizat tersendiri. Barangsiapa yang mempelajari sirah Nabi maka dia akan mendapatkan kejaiban, bagaimana perangai dan akhlak Nabi ﷺ yang sangat luar biasa.

Apabila berbicara tentang tokoh-tokoh yang lain, mungkin saja tokoh ini memiliki keunggulan dalam suatu bidang tertentu, tetapi berbeda denga Nabi ﷺ yang hebat dalam segala hal. Jika berbicara tentang kepememimpinan, maka Nabi ﷺ adalah sosok pemimpin yang hebat. Berbicara tentang keberanian maka Nabi ﷺ adalah sosok yang paling pemberani, sampai-sampai ‘Ali bin Abi Thālib berkata:

كُنَّا إِذَا احْمَرَّ الْبَأْسُ، وَلَقِيَ الْقَوْمُ الْقَوْمَ، اتَّقَيْنَا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمَا يَكُونُ مِنَّا أَحَدٌ أَدْنَى مِنَ القَوْمِ مِنْهُ

“Kami jika dalam kondisi serangan musuh yang sangat kuat, kaum muslimin telah bertemu dengan musuh, maka kamipun berlindung di belakang Nabi ﷺ, tidak seorangpun dari kami yang lebih dekat kepada musuh dari pada Nabi ﷺ ” (HR Ahmad no 1347 dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan juga dishahihkan oleh Ahmad Syakir)

Perhatikanlah, pengakuan ini bukanlah diucapkan oleh sembarang orang, akan tetapi diucapkan oleh Ali bin Abi Thālib yang dikenal sangat pemberani. Itupun beliau berlindung di belakang Nabi  ﷺ.

Di dalam perang Hunain, suatu ketika saat para shāhabat diserang musuh, tiba-tiba Nabi ﷺ langsung menyeruak maju ke depan. Dalam hal keberanian, Nabi ﷺ tidak ada duanya. Belum lagi akhlak dan perangai beliau. Apabila Anda ingin mencari siapa sosok teladan ayah terbaik di muka bumi ini, maka Nabi ﷺ adalah ayah terbaik. Apabila Anda ingin mencari siapa sosok suami terbaik, maka lihatlah perikehidupan Nabi sebagai sosok suami terbaik. Keadaan beliau ﷺ sungguh sangat menakjubkan. Dalam segala hal, baik sebagai seorang ayah, suami, kepala negara, mufti, teman dan selainnya, maka Nabi ﷺ adalah pribadi yang menakjubkan, kesemuanya adalah mukjizat.

Oleh karena itu, Nabi ﷺ ini bukanlah sembarang tokoh. Beliau adalah tokoh dan figur yang sangat luar biasa istimewa dan spesial. Pribadi yang sangat diagungkan dan dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Nabi ﷺ pernah bersabda :

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا فَخْرَ

Aku adalah pemimpin seluruh anak Ādam pada hari kiamat dan aku tidak sombong.” (HR At-Tirmidzi no 3148 dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri dan syahidnya HR Muslim no 2278 dari Abu Hurairah)

Inilah tokoh yang sangat mulia, Rasūlullāh Muhammad bin Abdillah ﷺ.

Maka alangkah benarnya perkataan Ibnu Hazm di atas, “Barangsiapa yang mempelajari sirah Nabi maka dia akan memeluk Islam, karena jika ia mempelajari dengan sebaik-baiknya maka dia pasti yakin bahwa Muhammad adalah Rasūlullāh (utusan Allāh Subhānahu wa Ta’āla).”

Ada satu contoh yang mungkin menurut kita suatu hal yang sepele dan remeh, yaitu tentang adab dan etika makan Nabi ﷺ sebagaimana disebutkan oleh shāhabat:

إِن اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

“Jika beliau suka dengan suatu makanan maka beliau makan, dan sebaliknya apabila beliau tidak suka dengan suatu makanan, maka beliau biarkan (tidak dikomentari)”

Adab Nabi ﷺ terhadap makanan ini memang tampak sepele dan remeh. Beliau ﷺ apabila di hadapannya ada makanan, jika suka  beliau makan dan jika tidak suka beliau tinggalkan, tidak pernah beliau berkomentar atau mengeluhkannya. Al-Imām Nawawi rahimahullāh Ta’āla mengatakan:

“Yaitu, Rasūlullāh ﷺ tidak pernah mencela makanan. Dalam sebuah hadits disebutkan :

مَا عَابَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ، كَانَ إِذَا اشْتَهَى شَيْئًا أَكَلَهُ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

“Rasūlullāh ﷺ tidak pernah mencela makanan sedikitpun. Apabila beliau suka, beliau makan dan apabila beliau tidak suka, beliau tinggalkan.” (HR Muslim no 2064)

Nabi ﷺ tidak pernah mencela makanan sama sekali. Imām Nawawi dalam Syarh Shahīh Muslim menerangkan bahwa Nabi tidak pernah mengomentari makanan dengan mengatakan: “ini terlalu manis” atau “ini terlalu asin” atau “ini kurang enak” atau “ini terlalu panas” atau “ini terlalu dingin”.

Siapakah gerangan diantara kita yang bisa seperti ini? Yaitu tidak pernah mengomentari makanan. Kita umumnya senang mengomentari makanan. Bisakah kita diam dan tidak berkomentar tentang makanan dalam waktu sebulan saja? Jangankan makanan yang kita beli, makanan yang gratis pun terkadang kita komentari, terlebih lagi makanan yang kita beli dan dengan harga mahal. Namun Nabi ﷺ tidak pernah mengomentari makanan, bahkan walaupun beliau terjebak dalam kondisi yang seharusnya beliau bisa berkomentar. Sebagaimana dalam hadits ketika Khālid bin al-Walid radhiyallāhu ‘anhu suatu ketika sedang bersama Nabi dan dihidangkan seekor dhabb (kadal padang pasir) yang dimasak dengan kuahnya. Khālid bin Walid makan dengan lahapnya, sampai-sampai disebutkan kuah dari daging dhabb tersebut mengalir di jenggot beliau.

Hukum dhabb (kadal padang pasir) ini halal. Namun Nabi ﷺ tidak menggerakkan tangannya sama sekali karena beliau memang tidak suka, sehingga beliau tinggalkan. Hal ini menyebabkan  Khālid bin al-Walid heran, sementara beliau begitu lahap memakannya.  Lantas beliau bertanya:

أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟

“Ya Rasūlullāh, apakah dhabb hukumnya haram?”,

yaitu seakan-akan beliau beliau bertanya : “Kenapa Anda tidak memakannya?”

Apabila kita dalam posisi sebagai Nabi, mungkin kita akan mengatakan: “Saya ini Nabi, tidak sepatutnya dihidangkan kadal, seharusnya minimal sapi atau kambing atau unta.”

Tetapi Nabi ﷺ tidak demikian. Ketika beliau dihidangkan kadal dan beliau tidak menyukainya, maka beliau menjawab dengan komentar yang indah dan sedikitpun tidak mencela makanan tersebut. Beliau mengatakan:

لَا، وَ لكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِاَرْضِ قَوْمِي فَاَجِدُنِي اَعَافُهُ

“Tidak, hanya saja makanan ini tidak ada di kampungku. Saya tidak biasa memakannya karena itu tidak saya makan.” (HR Al-Bukhari no 5391 dan Muslim no 1945)

Beliau tidak berkata macam-macam dan mencela makanan tersebut.  Jika kita perhatikan perangai beliau yang tampak remeh ini, sebenarnya ini termasuk mukjizat. Apakah ada orang yang tidak pernah mengomentari dan mencela makanan? Hampir mustahil ada orang seperti ini.

Siapa saja yang mau memperhatikan hadits-hadits Nabi ﷺ, niscaya dia akan mengetahui bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah Nabi dan utusan Allāh. Ini hanya salah satu contoh kecil. Tidak pernah seumur hidupnya beliau mencela makanan, mengomentari, “Ini terlalu manis”, “Ini terlalu asam”, “Ini terlalu asin”, atau “Ini terlalu kering”. Hal ini merupakan perkara yang luar biasa.

Ini menunjukkan bahwa orang yang memperhatikan satu poin ini saja, yang tampaknya sederhana dan remeh, bisa menjadikannya yakin bahwasanya Muhammad bin Abdillah itu memang utusan Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Dan alangkah benarnya perkataan Ibnu Hazm rahimahullāh di atas : “Barangsiapa yang memperhatikan sirah Nabi ﷺ yang merupakan mukjizat tersendiri maka pasti dia yakin bahwasanya Muhammad adalah utusan Allāh Subhānahu wa Ta’āla”

 

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 02-01-1439 H / 22-09-2017 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

dipublish ulang dari sumber www.firanda.com