Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
Sumber firanda.com

Adapun kondisi moral (akhlak) di kota Mekkah sebelum datangnya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, orang-orang Mekkah dikenal sebagai orang-orang yang suka minum khamr. Banyak sekali syair-syair jahiliyyah yang isinya puji-pujian terhadap khamr. Lantaran betapa mendarah dagingnya khamr di masyarakat Makkah saat itu, sampai-sampai Allah menurunkan ayat yang mengharamkan khamr secara bertahap, tidak secara langsung sekaligus. Karena khamr adalah kebiasaan orang-orang Arab yang mandarah daging. Sebagaimana kebiasaan yang lain yaitu main judi.

Oleh karena itu, Allāh Subhānahu wa Ta’āla menurunkan firman-Nya:

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ

“Sesungguhnya syaithan ingin mengadu domba, menumbuhkan permusuhan dalam khamr dan perjudian…” (QS Al-Māidah : 91)

Kebiasaan buruk mereka yang lain adalah:

  • praktek riba
  • praktek menikahi bekas istri bapak mereka.

Padahal Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman :

وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ

“Janganlah kalian menikahi bekas istri bapak kalian.” (QS An-Nisā : 22)

  • praktek menikahi kakak beradik sekaligus.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman :

وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ

“(Diharamkan atas kamu mengawini) .. dengan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (QS An-Nisaa’ : 23)

Ada lagi bentuk keanehan menikah yang mereka lakukan, seperti yang diceritakan oleh Ibunda ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā.

كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ الْيَوْمَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ أَوْ ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا ثُمَّ يَنْكِحُهَا وَنِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُل يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ إِذَا طَهُرَتْ مِنْ طَمْثِهَا أَرْسِلِي إِلَى فُلَانٍ فَاسْتَبْضِعِي مِنْهُ وَيَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَلَا يَمَسُّهَا أَبَدًا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذَلِكَ الرَّجُلِ الَّذِي تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ فَإِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا أَصَابَهَا زَوْجُهَا إِذَا أَحَبَّ وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ رَغْبَةً فِي نَجَابَةِ الْوَلَدِ فَكَانَ هَذَا النِّكَاحُ نِكَاحَ الِاسْتِبْضَاعِ وَنِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ مَا دُونَ الْعَشَرَةِ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ كُلُّهُمْ يُصِيبُهَا فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ وَمَرَّ عَلَيْهَا لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا تَقُولُ لَهُمْ قَدْ عَرَفْتُمْ الَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلَانُ تُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْتَنِعَ بِهِ الرَّجُلُ وَنِكَاحُ الرَّابِعِ يَجْتَمِعُ النَّاسُ الْكَثِيرُ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ لَا تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَهُنَّ الْبَغَايَا كُنَّ يَنْصِبْنَ عَلَى أَبْوَابِهِنَّ رَايَاتٍ تَكُونُ عَلَمًا فَمَنْ أَرَادَهُنَّ دَخَلَ عَلَيْهِنَّ فَإِذَا حَمَلَتْ إِحْدَاهُنَّ وَوَضَعَتْ حَمْلَهَا جُمِعُوا لَهَا وَدَعَوْا لَهُمْ الْقَافَةَ ثُمَّ أَلْحَقُوا وَلَدَهَا بِالَّذِي يَرَوْنَ فَالْتَاطَ بِهِ وَدُعِيَ ابْنَهُ لَا يَمْتَنِعُ مِنْ ذَلِكَ فَلَمَّا بُعِثَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ الْجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ إِلَّا نِكَاحَ النَّاسِ الْيَوْمَ

‘Āisyah berkata: “Sesungguhnya pernikahan pada zaman jahiliyyah ada 4 model:

⑴ Sebagaimana nikahnya orang sekarang, yaitu seorang datang melamar kepada calon mertua untuk menikahi anaknya.

⑵ Nikah istibdha’ yaitu seorang lelaki yang tatkala istrinya haidh, dia tunggu sampai istrinya suci dari haidh. Setelah suci, istrinya diutus kepada lelaki yang terkenal hebat yang ingin mencari keturunan.

(Para ulama mengatakan, perbuatan semacam ini dilakukan oleh bukan orang Asyraf (Quraisy) tetapi kabilah-kabilah dengan nasab rendah. Setelah digauli oleh lelaki lain yang dinilai hebat, suaminya tidak boleh langsung menggauli istrinya sampai tahu bahwa istrinya hamil -pen)

⑶ Nikah borongan, yaitu sekelompok orang lelaki (kurang dari 10 orang), mereka mendatangi seorang wanita dan semuanya menggauli wanita tersebut. Setelah wanita itu hamil dan melahirkan, maka wanita itu boleh memilih siapa bapaknya dan lelaki itu tidak boleh menolak meskipun wajahnya mirip dengan lelaki yang lain.

⑷ Pernikahan terhadap wanita pezina.

Dahulu wanita pezina memiliki ciri khusus, terdapat bendera merah di rumahnya, mengisyaratkan bahwa dia siap dizinahi. Maka datanglah banyak lelaki untuk menzinai dan akhirnya hamil lalu melahirkan. Kemudian dilihat wajah anaknya mirip dengan lelaki mana yang pernah menggaulinya, maka itulah bapaknya.

Inilah model nikah yang pernah terjadi di zaman jahiliyyah.

Apa yang dituturkan ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengisyaratkan akan tersebarnya zina sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Saking tersebarnya, sampai-sampai zina merupakan perkara biasa bahkan menjadi tradisi di tengah-tengah mereka, sehingga tidak lagi dianggap sebagai kemungkaran di mata mereka. Telah menjadi kebiasaan mereka, seorang lelaki yang memiliki kekasih-kekasih zina tanpa pernikahan. Allah mengisyaratkan hal tersebut dalam firmanNya :

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ

”(Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (QS Al-Maidah : 5)

Sebaliknya tersebar pula wanita yang bisa memiliki banyak pacar lelaki untuk berzina dengan mereka tanpa hubungan akad nikah, sebagaimana yang Allah isyaratkan dalam firmanNya :

فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ

“Kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedangkan merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.” (QS An-Nisaa’ : 25)

Bahkan sebagian wanita dipaksa untuk berzina. Demikian juga sebagian budak wanita yang dipaksa oleh majikannya untuk mencari penghasilan dengan berzina.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman :

وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi.” (QS An-Nuur : 33)

Kerusakan moral lain yang terjadi adalah wa’dul banāt, yaitu mengubur anak perempuan hidup-hidup. Diantara sebab kenapa mereka menguburkan anak perempuan hidup-hidup:

⑴ Takut miskin, karena anak wanita tidak bisa kerja, mereka ingin punya anak lelaki yang bisa bekerja dan mencari rizki.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman :

وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ

Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin, Kami yang memberi rizqi kepada kalian dan kepada anak-anak kalian.” (QS Al-Isrā : 31)

Firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang lain:

وَإِذَا الْمَوْؤُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنبٍ قُتِلَتْ

Ketika anak-anak wanita dikubur/dibunuh tanpa dosa yang mereka lakukan.” (QS At-Takwīr : 8-9)

Itulah sebab mengapa mereka membunuh anak-anak mereka, bahkan telah menjadi adat istiadat mereka.

Disebutkan bahwa pada zaman dahulu, terjadi peperangan antara suatu kabilah dengan kabilah yang lain. Tatkala terjadi pertemuan, putri dari kepala kabilah diambil oleh musuhnya dan ditawan. Dikisahkan bahwa wanita tersebut jatuh cinta kepada salah seorang musuh, akhirnya mereka pun menikah. Ketika ayahnya ingin mengambil anaknya, anaknya tidak mau kembali karena sudah jatuh cinta dan menikah dengan sang musuh tersebut. Ayahnya jengkel dan bersumpah jika memiliki anak perempuan akan dibunuh, dia tidak mau terjadi kehinaan seperti itu lagi. Maka mulailah setiap kali lahir anak perempuan, langsung dibunuh, begitu seterusnya sampai menjadi kebiasaan di kalangan orang Arab, diantara sebabnya adalah takut merasa hina.

⑵ Mereka mengetahui bahwa anak laki-laki akan mendatangkan kekuatan dan bisa berbangga dengan memiliki pengikut laki-laki yang banyak, sedangkan jika pengikutnya banyak wanita maka tidak akan ada faidahnya. Yang bisa berperang hanyalah anak laki-laki, sehingga mereka malu jika punya anak perempuan.

Adapun cara mereka membunuh anak-anak perempuan ada dua cara, sebagaimana dijelaskan para sejarawan, yaitu :

⑴ Begitu lahir langsung dibunuh

⑵ Ditunggu sampai anak tersebut sudah besar, bahkan disebutkan sampai ada laki-laki yang ingin menikahinya baru dibunuh.

Perbuatan ini merupakan kebiadaban yang dilakukan oleh sebagian orang Arab, bukan seluruh orang Arab. Oleh karena itu, para shāhabat tidak dikenal mereka dahulu membunuh anak-anak perempuan mereka. Adapun riwayat bahwasanya ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu membunuh anaknya adalah riwayat yang tidak benar. Dan merupakan hal yang sangat mengherankan, benci terhadap anak perempuan itu terwariskan sampai sekarang. Kita dapati sebagian kaum muslimin jika istrinya melahirkan anak perempuan maka dia menjadi jengkel, istrinya dimarahi mengapa melahirkan perempuan, padahal  bukan kesalahan istrinya. Bahkan ada yang menceraikan istrinya karena melahirkan anak perempuan terus, kemudian dia menikah lagi. Sehingga, jika ada rasa benci karena dikaruniai anak perempuan maka itu merupakan warisan jahiliyyah.

Oleh karena itu, Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah memuliakan anak wanita, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyebutkan “Barangsiapa yang memelihara anak perempuan maka akan menjadi penghalangnya dari neraka.” Padahal semua sudah ditakdirkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.  Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyebutkan diantara sifat mereka, bahwasanya jika mereka tidak membunuhnya maka mereka akan menanggung malu.

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ

Kalau diberi kabar kepada mereka bahwasanya anaknya perempuan maka wajahnya hitam, sembunyi dari kaumnya, apakah dia bunuh atau dia tahan.” (QS An-Nahl : 58-59)

Kemudian diantara kerusakan bangsa Arab yang lain adalah sering berperang. Acapkali hanya karena masalah sepele maka meletuslah peperangan. Bahkan disebutkan oleh sejarawan terdapat beberapa macam peperangan dengan nama-namanya yang khusus yang disebabkan oleh alasan sepele. Diantara yang disebutkan oleh ahli sejarah adalah perang Al-Busus yang merupakan perang saudara yang disebabkan karena seekor unta antara Bani Bakr dan Bani Taglib, dimana keduanya (Bakr dan Taglib) adalah putra dari Wail. Pimpinan Bani Bakr memukul seekor unta milik seekor wanita Bani Taglib, yang kemudian menyebabkan unta tersebut berdarah hingga menyebabkan darahnya bercampur dengan susunya (artinya unta tersebut mati), hal ini membuat emosi wanita tersebut dan kemarahan wanita ini bisa membuat marah satu kabilah. Akhirnya terjadilah peperangan selama 40 tahun, dan telah terbunuh ribuan orang hanya gara-gara seekor unta. Awalnya Bani Taglib mengamuk dan membunuh 1 orang dari Bani Bakr. Lalu Bani Bakr tidak terima sehingga terjadilah peperangan, sampai dikenal namanya Harbul Busus, Allāhu a’lam (Busus nama wanita pemilik unta). (Lihat Al-Kamil fi at-Taariikh li Ibnil Atsiir 1/410-412)

Diantara peperangan lain yang pernah terjadi adalah gara-gara dua ekor kuda yang yang bernama Dahis milik Qois bin Zuhair dan kuda yang bernama Al-Gobro’ milik Hudzaifah bin Badr, sehingga perang ini dikenal dengan perang Dahis wa al-Gobro’. Disebutkan bahwa kedua kuda tersebut bertemu dalam lomba balapan kuda, lalu Hudzaifah bin Badr meminta sekelompok untuk berdiri menunggu di lembah (jalur lari kedua kuda tersebut). Tugas mereka adalah memukul kuda Dahis jika kuda Dahis mendahului kudanya. Tatkala kuda Dahis akan menang, merekapun memukul wajah kuda Dahis sehingga ia tersungkur jatuh dan akhirnya menanglah kuda al-Gobro’ milik Hudzaifah bin Badr. Setelah perlombaan selesai maka terjadilah peperangan antara 2 kabilah yaitu kabilah ‘Abs dan Dzibyan yang menyebabkan ribuan orang terbunuh. (Lihat Ar-Roud al-Unuf 2/36)

Inilah kerusakan-kerusakan yang terjadi di bangsa Arab sebelum diutusnya Nabi. Adapun di zaman ini, seringkali kita mendengar terjadinya pertengkaran dan peperangan hanya gara-gara pertandingan bola, satu sama lain saling mengejek lalu saling membunuh, bahkan negara yang satu mengejek negara yang lain, sungguh ini benar-benar sangat memalukan.

————–

Jakarta, 19-01-1439 H / 09-10-2017 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
www.firanda.com