BAB 4([1])
TAKUT KEPADA SYIRIK([2])
Oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc, M.A.
Sumber www.Firanda.com
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّ اللَّـهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya”. (QS. An Nisa’: 48). ([3])
Nabi Ibrahim berkata:
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari perbuatan (menyembah) berhala”. ( QS. Ibrahim: 35 ). ([4])
Diriwayatkan dalam suatu hadits, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، فَسُئِلَ عَنْهُ؟ فَقَالَ: الرِّيَاءُ
“Sesuatu yang paling aku khawatirkan dari kamu kalian adalah perbuatan syirik kecil, kemudian beliau ditanya tentang itu, dan beliaupun menjawab: yaitu riya.”(HR. Ahmad, Thabrani dan Abu Dawud). ([5])
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَدْعُو مِنْ دُوْنِ اللهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan berdo’a kepada sesembahan apapun selain Allah, maka masuklah ia ke dalam neraka.”( HR. Bukhari). ([6])
Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَقِيَ اللهَ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ
“Barangsiapa yang menemui Allah (mati) dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada-Nya, pasti ia masuk surga, dan barangsiapa yang menemui-Nya (mati) dalam keadaan berbuat kemusyrikan maka pasti ia masuk neraka”. ([7])
Kandungan bab ini:
- Syirik adalah perbuatan dosa yang harus ditakuti dan dijauhi.
- Riya’ termasuk perbuatan syirik.
- Riya’ termasuk syirik kecil.
- Riya’ adalah dosa yang paling ditakuti oleh Rasulullah terhadap orang-orang shaleh. ([8])
- Dekatnya surga dan neraka.
- Dekatnya surga dan neraka telah sama-sama disebutkan dalam satu hadits.
- Barangsiapa yang mati tidak dalam kemusyrikan maka pasti ia masuk surga, dan barangsiapa yang mati dalam kemusyrikan maka pasti ia masuk neraka, meskipun ia termasuk orang yang banyak ibadahnya.
- Hal yang sangat penting adalah permohonan Nabi Ibrahim untuk dirinya dan anak cucunya agar dijauhkan dari perbuatan menyembah berhala.
- Nabi Ibrahim mengambil ibrah (pelajaran) dari keadaan sebagian besar manusia, bahwa mereka itu adalah sebagaimana perkataan beliau:
رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ
“Ya Rabb, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak orang.” (QS. Ibrahim: 36).
- Dalam bab ini mengandung penjelasan tentang makna لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, [yaitu: pembersihan diri dari syirik dan pemurnian ibadah kepada Allah].
- Keutamaan orang yang dirinya bersih dari kemusyrikan.
KETERANGAN (FOOTNOTE):
([1]) Keterkaitan bab ini dengan bab-bab sebelumnya adalah tatkala penulis menyebutkan bab-bab sebelumnya tentang tauhid, keutamaan tauhid, dan secara khusus tentang keutamaan memurnikan tauhid maka setelah itu sangat tepat untuk menyebutkan tentang hakikat kesyirikan. Karena tauhid seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan mengenal lawannya yaitu kesyirikan. Jika seseorang telah menjalankan tauhid namun tidak mengenal kesyirikan dan jenis-jenisnya maka dikawatirkan ia akan terjatuh dalam kesyirikan. Diriwayatkan bahwa Umar bin al-Khotthob berkata :
إِنَّمَا تُنْقَضُ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً إِذَا نَشَأَ فِي الإِسْلاَمِ مَنْ لاَ يَعْرِفُ الْجَاهِلِيَّةِ
“Hanyalah terlepaskan simpul tali Islam sedikit demi sedikit jika tumbuh dalam Islam seseorang yang tidak mengenal perkara-perkara jahiliyah” (lihat Dar’u Ta’aarud al-‘Aql wa an-Naql 5/259).
Sebagaimana pepatah berkata :
الضَّدُّ يُظْهِرُ حُسْنَهُ الضِّدُّ، وَبِضِدِّهَا تَتَبَيَّنُ الأَشْيَاءُ
“Sesuatu akan diperlihatkan keindahannya oleh lawannya (antonimnya), dan dengan lawannya maka sesuatu akan semakin jelas”
Karenanya tidaklah mengetahui dengan sungguh-sungguh akan nikmat sehat kecuali yang sedang merasakan sakit, tidak ada yang mengetahui nilai lampu kecuali orang yang sedang dalam kegelapan, tidak ada yang mengetahui nilai air kecuali orang yang sedang kehausan, dan tidak ada yang mengetahui benar nikmat keamanan kecuali orang yang sedang dilanda peperangan. Karenanya tidak ada yang sungguh mengetahui nilai tauhid dan pentingnya tauhid, pentingnya memurnikan tauhid kecuali orang yang mengetahui kesyirikan dan jenis-jenisnya, mengetahui perkara-perkara jahiliyah, sehingga ia menjauhinya dan selalu berusaha menjaga tauhidnya.
Dari sini kita tahu kesalahan sebagian orang yang menyatakan “tidak perlu mempelajari aqidah-aqidah yang batil seperti jahmiyah dan mu’tazilah, tidak perlu mempelajari firqoh-firqoh sesat seperti khowarij dan syi’ah, yang penting ajari masyarakat dengan aqidah yang benar.”
Ada pula yang menyatakan, “Sekarang khurofat sudah hilang, maka ajarilah masyarakat tekhnologi dan pengetahuan“, atau yang berkata, “Tidak perlu mengajarkan tentang kesyirikan, masyarakat berada di atas tauhid atas fitroh mereka“. Akhirnya orang-orang yang menyatakan demikian sama sekali tidak tertarik untuk mengingkari kesyirikan, lalu mereka menyatakan ada kesyirikan yang lebih penting yaitu kesyirikan politik !! (Lihat I’anatul Mustafiid 1/127-128)
Sungguh aqidah-aqidah batil tersebut masih berkembang hingga saat ini…!. Syubhat-syubhat ahlu as-syirik masih terus dihembuskan…!.
Karenanya tidak ada yang benar-benar memahami nilai tauhid seperti para sahabat, yang kebanyakan mereka pernah merasakan bangkai kesyirikan, lalu mereka menemukan tauhid dengan diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :
برز الصَّحَابَة على جَمِيع من أَتَى بعدهمْ إِلَى يَوْم الْقِيَامَة فَإِنَّهُم نشأوا فى سَبِيل الضلال وَالْكفْر والشرك والسبل الموصلة إِلَى الْهَلَاك وعرفوها مفصّلة ثمَّ جَاءَهُم الرَّسُول فَأخْرجهُمْ من تِلْكَ الظُّلُمَات إِلَى سَبِيل الْهدى وصراط الله الْمُسْتَقيم فَخَرجُوا من الظلمَة الشَّدِيدَة إِلَى النُّور التَّام وَمن الشّرك إِلَى التَّوْحِيد وَمن الْجَهْل إِلَى الْعلم وَمن الغي إِلَى الرشاد وَمن الظُّلم إِلَى الْعدْل وَمن الْحيرَة والعمى إِلَى الْهدى والبصائر فعرفوا مِقْدَار مَا نالوه وظفروا بِهِ وَمِقْدَار مَا كَانُوا فِيهِ فَإِن الضِّدّ يظْهر حسنه الضِّدّ وَإِنَّمَا تتبين الْأَشْيَاء بأضدادها فازدادوا رَغْبَة ومحبة فِيمَا انتقلوا إِلَيْهِ ونفرة وبغضا لما انتقلوا عَنهُ وَكَانُوا أحب النَّاس فِي التَّوْحِيد وَالْإِيمَان وَالْإِسْلَام وَأبْغض النَّاس فِي ضِدّه عَالمين بالسبيل على التَّفْصِيل
وَأما من جَاءَ بعد الصَّحَابَة فَمنهمْ من نَشأ فِي الْإِسْلَام غير عَالم تَفْصِيل ضِدّه فَالْتبسَ عَلَيْهِ بعض تفاصيل سَبِيل الْمُؤمنِينَ بسبيل الْمُجْرمين فَإِن اللّبْس إِنَّمَا يَقع إِذا ضعف الْعلم بالسبيلين أَو أَحدهمَا … فَمن لم يعرف سَبِيل الْمُجْرمين وَلم تستبن لَهُ أوشك أَن يظنّ فِي بعض سبيلهم أَنَّهَا من سَبِيل الْمُؤمنِينَ
“Sahabat unggul atas seluruh yang datang setelah mereka hingga hari kiamat. Karena para sahabat tumbuh dalam jalan kesesatan, kekufuran, dan kesyirikan, serta jalan-jalan yang mengantarkan kepada kebinasaan. Mereka mengenal jalan-jalan tersebut secara terperinci, lalu datang kepada mereka seorang Rasul yang mengeluarkan dari kegelapan-kegelapan tesebut menuju jalan petunjuk dan jalan Allah yang lurus. Maka merekapun keluar dari kegelapan yang sangat gulita menuju cahaya yang terangnya sempurna, dari kesyirikan menuju tauhid, dari kebodohan menuju ilmu, dari kesesatan menuju kebenaran, dari kedzaliman menuju keadilan, dari kebimbangan dan kebutaan menuju petunjuk dan penglihatan, maka merekapun sangat mengerti akan nilai apa yang telah mereka raih dan mereka dapatkan serta nilai yang mereka berada diatasnya. Karena dengan mengenal lawan sesuatu maka akan tampak keindahan sesuatu tersebut, karena segala sesuatu semakin lebih jelas dengan mengenal lawan-lawannya. Maka para sahabatpun semakin bertambah semangat dan kecintaan terhadap kondisi baru yang mereka berubah kepadanya, dan mereka semakin jauh dan benci terhadap kondisi yang telah mereka tinggalkan, dan mereka adalah orang yang paling cinta terhadap tauhid, iman, dan islam. Mereka juga adalah orang yang paling benci terhadap lawan tauhid karena mereka mengetahui jalan-jalan dengan terperinci.
Adapun orang-orang yang datang setelah mereka (para sahabat) maka diantara mereka ada yang tumbuh dalam keislaman namun tidak mengetahui lawannya secara terperinci, akhirnya terasa rancu baginya sebagian perkara dari jalan kaum mukminin dengan sebagaian perkara dari jalan kaum mujrimin. Kerancuan tersebut hanyalah terjadi jika kurang ilmu terhadap kedua jalan atau terhadap salah satunya…Maka barang siapa yang tidak mengenal jalan kaum mujrimin dan tidak jelas maka bisa jadi ia menyangka sebagian jalan kaum mujrimin dianggap merupakan jalan kaum mukminin. (Al-Fawaid hal 109)
Ja’far bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu berkata kepada Raja An-Najasyi :
أَيُّهَا الْمَلِكُ، كُنَّا قَوْمًا أَهْلَ جَاهِلِيَّةٍ نَعْبُدُ الْأَصْنَامَ، وَنَأْكُلُ الْمَيْتَةَ وَنَأْتِي الْفَوَاحِشَ، وَنَقْطَعُ الْأَرْحَامَ، وَنُسِيءُ الْجِوَارَ يَأْكُلُ الْقَوِيُّ مِنَّا الضَّعِيفَ، فَكُنَّا عَلَى ذَلِكَ حَتَّى بَعَثَ اللهُ إِلَيْنَا رَسُولًا مِنَّا نَعْرِفُ نَسَبَهُ، وَصِدْقَهُ، وَأَمَانَتَهُ، وَعَفَافَهُ، ” فَدَعَانَا إِلَى اللهِ لِنُوَحِّدَهُ، وَنَعْبُدَهُ، وَنَخْلَعَ مَا كُنَّا نَعْبُدُ نَحْنُ وَآبَاؤُنَا مِنْ دُونِهِ مِنَ الحِجَارَةِ وَالْأَوْثَانِ، وَأَمَرَنَا بِصِدْقِ الْحَدِيثِ، وَأَدَاءِ الْأَمَانَةِ، وَصِلَةِ الرَّحِمِ، وَحُسْنِ الْجِوَارِ، وَالْكَفِّ عَنِ الْمَحَارِمِ، وَالدِّمَاءِ، وَنَهَانَا عَنِ الْفَوَاحِشِ، وَقَوْلِ الزُّورِ، وَأَكْلِ مَالَ الْيَتِيمِ، وَقَذْفِ الْمُحْصَنَةِ، وَأَمَرَنَا أَنْ نَعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ لَا نُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَأَمَرَنَا بِالصَّلاةِ، وَالزَّكَاةِ، وَالصِّيَامِ
“Wahai Sang Raja, kami dahulu pelaku jahiliyah, kami menyembah berhala, kami memakan bangkai, kami melakukan perbuatan-perbuatan tidak senonoh, memutuskan silaturrahmi, bersikap buruk kepada tetangga, yang kuat dari kami memakan yang lemah, kami terus dalam kondisi demikian hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari kami, yang kami mengerti akan nasabnya, kejujurannya, amanahnya, dan sikap menjaga harga dirinya. Lalu ia menyeru kami kepada Allah agar kami mentauhidkanNya dan menyembahNya, dan meninggalkan apa yang telah disembah oleh kami dan nenek moyang kami selain Allah berupa batu dan berhala. Ia memerintahkan kami untuk jujur dalam berkata, melarang kami untuk melakukan perbuatan tidak senonoh, perkataan dusta, memakan harta anak yatim, menuduh wanita baik-baik, dan memerintahkan kami untuk menyembah Allah semata dan tidak mensekutukanNya dengan sesuatu apapun, dan memerintahkan kami untuk shalat, membayar zakat, dan puasa” (HR Ahmad no 1740 dengan sanad yang hasan)
Kemudian agar seseorang benar-benar termotivasi untuk mempelajari hakikat kesyirikan dan jenis-jenisnya maka sangat perlu seseorang mengetahui akan bahaya kesyirikan dan bahwasanya kesyirikan adalah kedzaliman yang terbesar dan bahaya yang paling berbahaya. Karenanya penulis membuat bab ini, “Bab Takut Kepada Syirik”. Penulis tidak berkata, “Bab meninggalkan syirik” akan tetapi penulis berkata, “Takut kepada syirik”, karena yang dituntut oleh syari’at bukan hanya meninggalkan syirik tapi lebih dari itu yaitu menjauhi syirik sejauh-jauhnya, yaitu dengan takut kepada syirik. Maka seluruh perkara yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan maka hendaknya dijauhi karena ada rasa takut kepada kesyirikan.
([2]) Syirik secara bahasa artinya sekutu, dan makna syirik secara syar’i adalah :
اِتِّخَاذُ النِّدِّ مَعَ اللهِ
“Mengambil tandingan bagi Allah”
Definisi ini mencakup syirik besar dan syirik kecil, dan definisi ini lebih sesuai dengan lafal-lafal syar’i yang datang dalam dalil-dalil. Seperti firman Allah :
فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
“Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan” (QS. Al-Baqarah : 22)
Sesuai dengan sabda Nabi kepada sahabat yang berkata مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ “Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu” :
أَجَعَلْتَنِي للهِ نِدًّا
“Apakah engkau menjadikan aku tandingan bagi Allah?” (HR Al-Bukhari di al-Adab al-Mufrod no 783)
Dalam riwayat yang lain Nabi bersabda :
أجَعَلْتَنِي للهِ عِدْلاً
“Apakah engkau menjadikan aku imbangan bagi Allah?” (HR An-Nasai dalam as-Sunan al-Kubro no 10579 dan Ahmad no 1839)
Sesuai juga dengan sabda Nabi tatkala ditanya tentang dosa terbesar?
أَنْ تَجْعَلَ لِلّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ
“Yaitu engkau menjadikan sekutu (tandingan) bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla padahal Dia yang menciptakanmu.” (HR Al-Bukhari no 4477 dan Muslim no 86)
Dan makna an-Nid adalah sebagaimana perkataan Ibnu Abbas : الأَنْدَادُ الأَشْبَاهُ yaitu an-Nid maknanya asy-Syabiih yaitu yang serupa. Dan kata-kata yang semakna dengan النِّدُّ adalah الشَّبِيْهُ والْمِثْلُ والْعِدْلُ وَالْكُفْءُ, dan lafal-lafal inilah yang dinafikan dalam nash-nash yang berkaitan dengan kesyirikan. Seperti firman Allah
فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl : 74)
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (QS. Al-Ikhlas : 4)
Sebagian ulama mengungkapan definisi syirik ini dengan ungkapan lain yaitu :
تَسْوِيَةُ الْمَخْلُوْقِ بِالْخَالِقِ فِيْمَا هُوَ مِنْ خَصَائِصِ الْخَالِقِ فِي رُبُوْبِيَّتِهِ أَوْ أُلُوْهِيَّتِهِ أَوْ أَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ
“Menyamakan makhluk dengan Pencipta pada perkara-perkara yang merupakan kekhususan Pencipta, baik dalam rububiyahNya atau uluhiyahNya atau nama-nama dan sifat-sifatNya”
Kata syirik sendiri –secara bahasa- memberi isyarat bahwa sang musyrik juga menyembah Allah, hanya saja ia juga menyembah kepada selain Allah, sehingga menjadikannya tandingan bagi Allah. As-Shon’aani berkata:
وَلَفْظُ الشَّرِيْكِ يُشْعِرُ بِالإِقْرَارِ بِاللهِ تَعَالَى
“Dan lafal syarik menunjukkan pengakuan terhadap Allah” (Tathiirul I’tiqood ‘an Adroon al-Ilhaad hal 50)
([3]) Pada bab ini penulis menyebutkan 5 dalil :
Dalil Pertama : Firman Allah :
إِنَّ اللَّـهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya”. (QS. An Nisa’: 48)
Ayat ini menjelaskan akan bahaya kesyirikan, sebab rahmat Allah sangat luas meliputi segala sesuatu, kecuali orang musyrik. Ampunan Allah begitu luas bagi pelaku dosa, kecuali bagi orang musyrik. Allah mengkhabarkan tentang diriNya bahwa Ia tidak akan mengampuni dosa kesyirikan, adapun dosa-dosa yang lain –sebesar apapun- masih memungkinkan untuk diampuni sesuai dengan kehendak Allah. Dan kesyirikan tidak bisa dihindari dengan sempurna kecuali disertai dengan rasa takut terhadap kesyirikan.
Syirik merupakan dosa terbesar,
وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: “أَنْ تَجْعَلَ لِلّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ
Dari Ibnu Mas‘ūd radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku bertanya kepada Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dosa apa yang paling besar?” Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yaitu engkau menjadikan sekutu (tandingan) bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla padahal Dia yang menciptakanmu.” (HR Al-Bukhari no 4477 dan Muslim no 86)
Syirik merupakan dosa terbesar karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla -lah yang menciptakan engkau. Sebagaimana hanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang menciptakan engkau, menciptakan alam semesta, maka Dialah Yang Maha Esa, satu-satunya yang hendaknya diibadahi. Maka, sungguh tidak logis jika engkau diciptakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla tetapi kemudian engkau ikut menyembah selain Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Dan syirik akbar dikatakan merupakan dosa yang paling besar karena dia mendatangkan berbagai macam kebinasaan, yaitu:
- Musibah pertama, orang yang melakukan syirik akbar maka seluruh amalan yang dia kerjakan selama ini akan gugur.
Sebagaimana Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Jika engkau (wahai Muhammad) berbuat kesyirikan, maka akan gugur seluruh amalanmu dan engkau benar-benar akan termasuk orang yang merugi.” (QS. Az-Zumār: 65)
Firman Allāh ini khitab (pembicaraan)-nya ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian juga dikatakan kepada seluruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla,
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Kalau mereka (yaitu para Nabi seluruhnya) berbuat kesyirikan, maka akan gugur seluruh amalan mereka.” (QS. Al-An’ām: 88)
Apalagi yang selain para Nabi jika melakukan kesyirikan, maka tanpa ragu seluruh amalannya akan terhapuskan. Maka sungguh merugi jika seseorang yang telah beribadah, misalnya selama 60 tahun atau 50 tahun, beribadah dalam waktu yang lama, mungkin dia berhaji, umrah, bersedekah, berbakti kepada orang tua dan beribadah dengan berbagai macam modelnya.
Kemudian di akhir hayatnya, dia terjerumus ke dalam kesyirikan, misalnya berdoa kepada selain Allāh atau menyembelih kepada selain Allāh, kemudian meninggal di atas kesyirikan tersebut, maka seluruh amalannya akan gugur, digugurkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, tidak bernilai sama sekali.
Namun jika ia melakukan kesyirikan akbar lalu bertaubat sebelum meninggal maka amalannya tidaklah gugur, karena Allah mempersyaratkan gugurnya amalan jika meninggal dalam kondisi syirik. Allah berfirman
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya (QS. Al-Baqarah : 217)
- Musibah kedua, orang yang melakukan syirik akbar maka tidak akan diampuni dosa-dosanya.
Seseorang yang jika meninggal dunia dalam kondisi melakukan dosa besar, misalnya ada orang yang meninggal dalam kondisi mencuri atau sedang berzina tiba-tiba meninggal, wal iyyādzubillāh, orang ini masih ada kemungkinan untuk dimaafkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla di akhirat. Kenapa? Karena dia tidak terjerumus dalam syirik akbar.
Berbeda kalau dia meninggal dalam kondisi syirik akbar (syirik besar), maka mustahil akan diampuni oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, karena Allāh yang menyatakan demikian. Allāh mengatakan,
“Sesungguhnya Allāh tidak akan mengampuni dosa kesyirikan, dan Allāh mengampuni dosa-dosa selain kesyirikan, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisā: 48)
Kalau seandainya dosa syirik bisa diampuni, maka Abū Thālib (paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang berhak untuk diampuni. Kenapa? Karena Abū Thālib di masa hidupnya sejak awal dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia rela mati untuk membela keponakannya yaitu Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sayang kepada pamannya. Dan tatkala pamannya akan meninggal dunia, Rasūlullāh r menasehatinya dengan mengatakan, “Wahai pamanku, ucapkanlah laa ilaaha illallahu, kalimat yang aku akan bela engkau di akhirat kelak.” Akan tetapi pamannya enggan untuk mengucapkan laa ilaaha iallallahu, sehingga meninggal dalam kesyirikan. Tatkala Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memohonkan ampunan bagi pamannya, maka ditegur oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tidak pantas bagi Nabi dan juga tidak pantas bagi kaum mukminin untuk memohonkan ampunan (kepada Allāh) bagi orang-orang musyrik, meskipun (orang-orang musyrik itu adalah) kaum kerabat, setelah jelas bagi mereka (bahwasanya orang-orang musyrik itu) adalah penghuni neraka Jahannam.” (QS. At-Taubah: 113)
Maka, jika Abū Thālib yang memiliki jasa begitu besar terhadap Islam tidak diampuni oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, maka bagaimana lagi dengan selainnya? Oleh karenanya, seorang yang meninggal dalam keadaan musyrik tidak ada kemungkinan untuk diampuni oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla di akhirat kelak. Kenapa? Karena dia telah melakukan dosa yang sangat besar.
Dosa-dosa lain seperti zina, merampok, membunuh, durhaka kepada orang tua, itu semua berkaitan dengan hak hamba. Berbeda dengan syirik. Sirik adalah berkaitan dengan hak Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Seharusnya hanya Allāh yang diibadahi karena Allāh yang menciptakan dia. Selain beribadah kepada Allāh, dia juga beribadah kepada selain Allāh (beribadah kepada sesama makhluk). Maka ini merupakan dosa yang paling besar dan tidak diampuni olah Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
- Musibah Ketiga, orang yang meninggal dalam kondisi syirik akbar, mustahil akan masuk kedalam surga. Dia akan kekal dalam neraka Jahannam selama-lamanya. Kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla,
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang berbuat kesyirikan, maka pasti Allāh mengharamkan baginya surga, dan tempat kembalinya adalah neraka jahannam, tidaklah ada bagi orang-orang zhālim itu seorang penolongpun.” (QS. Al-Maidah: 72)
Oleh karenanya, orang musyrik tidak akan masuk surga , kecuali kalau onta bisa dimasukkan ke dalam lubang jarum. Kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla,
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan sombong terhadap ayat-ayat Kami, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk ke dalam surga, sampai unta (yang begitu besar) bisa dimasukkan ke dalam lobang jarum.” (QS. Al-A’rāf: 40)
Ini merupakan kemustahilan, maka seorang yang meninggal dalam syirik akbar tidak akan diampuni oleh Allāh, seluruh pahalanya sia-sia dan tidak akan dimasukkan ke dalam surga. Semoga Allāh melindungi kita dari dosa-dosa kesyirikan.
Terjadi khilaf di kalangan para ulama apakah syirik kecil juga tidak diampuni berdasarkan keumuman ayat 48 dari surat An-Nisa. Sebagian ulama memandang bahwa ayat ini mencakup syirik kecil. Ibnu Taimiyyah berkata :
وَقَدْ يُقَالُ الشِّرْكُ لاَ يُغْفَرُ مِنْهُ شَيْءٌ لاَ أَكْبَرُ وَ لاَ أَصْغَرُ عَلَى مُقْتَضَى عُمُوْمِ الْقُرْآنِ وَإِنْ كَانَ صَاحِبُ الشِّرْكِ الأَصْغَرِ يَمُوْتُ مُسْلِمًا لَكِنَّ شِرْكَهُ لاَ يُغْفَرُ لَهُ بَلْ يُعَاقَبُ عَلَيْهِ وَإِنْ دَخَلَ بَعْدَ ذَلِكَ الْجَنَّةَ
“Dan bisa jadi dikatakan bahwa kesyirikan tidak diampuni sama sekali, baik syirik besar maupun syirik kecil, berdasarkan keumuman ayat al-Qur’an. Meskipun pelaku syirik kecil meninggal dalam kondisi mulsim, akan tetapi syirik (kecil) nya tidaklah diampuni, dan ia dihukum karenanya, meskipun setelah itu ia masuk surga” (Ar-Rod ‘ala Al-Bakri 1/301)
Maksud dari syirik kecil tidak akan diampuni adalah (1) ia harus diletakkan dalam timbangan keburukan. Atau (2) maknanya harus diadzab, namun tentunya adzab yang tidak kekal. Hal ini berbeda dengan dosa-dosa besar yang lainnya, yang masih memungkinkan untuk diampuni oleh Allah meski pelakunya meninggal dalam kondisi belum bertaubat darinya.
Namun pendapat yang kuat bahwa yang tidak diampuni hanyalah syirik akbar. Meskipun lafal kesyirikan dalam ayat termasuk lafal umum (nakiroh dalam konteks syarat) namun ini adalah العَامُّ يَرَادُ بِهِ الْخَاصُّ (lafal umum namun maksudnya khusus). Hal ini semisal firman Allah
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? (QS. An-Nisaa’ : 54)
Lafal النَاسَ (manusia) adalah lafal umum, akan tetapi maksud ayat ini adalah khusus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian juga sebagaimana telah lalu firman Allah :
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik) (Al-An’aam : 82)
Lafal ظُلْمٍ (kezaliman) adalah lafal yang umum karena nakiroh dalam kontkes penafian, akan tetapi maksudnya adalah khusus kesyirikan.
Maka demikian juga lafal أَنْ يُشْرَكَ بِهِdalam ayat 48 dan ayat 116 surat An-Nisaa adalah lafal umum tapi maksudnya khusus syirik akbar dan tidak mencakup syirik kecil. Dalil akan hal ini sebagai berikut :
Pertama : Lafal syirik digunakan dalam al-Qur’an kebanyakannya adalah tentang syirik akbar. Maka kita membawakan lafal syirik dalam ayat ini juga kepada penggunaan yang biasanya, yaitu untuk syirik akbar.
Kedua : Konteks surat An-Nisa ayat 48 –jika diperhatikan sebelumnya- adalah berkaitan dengan ahlul kitab para pelaku syirik akbar. Allah berfirman sebelumnya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ آمِنُوا بِمَا نَزَّلْنَا مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَطْمِسَ وُجُوهًا فَنَرُدَّهَا عَلَى أَدْبَارِهَا أَوْ نَلْعَنَهُمْ كَمَا لَعَنَّا أَصْحَابَ السَّبْتِ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
Hai orang-orang yang telah diberi Al Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al Quran) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka(mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku (QS. An-Nisaa : 47)
Ketiga : Ayat ini diakhiri dengan firman Allah :
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar (QS. An-Nisaa : 48)
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya (QS. An-Nisaa : 116).
Ancaman di akhir kedua ayat di atas menunjukkan hanya untuk syirik akbar (besar).
Keempat : Sebab nuzul ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan syirik dalam ayat hanyalah syirik besar. Ibnu Umar berkata
كُنَّا نُوجِبُ لأَهْلِ الْكَبَائِرِ النَّارَ حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:{إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ}، فنهانا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُوجِبَ لأَحَدٍ مِنْ أهل الدين النار
“Kami dahulunya memastikan pelaku dosa besar masuk neraka, hingga turun ayat ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa kesyirikan dan mengampuni selain syirik bagi yang Allah kehendaki). Maka Rasulullahpun melarang kami untuk memastikan seorangpun yang Islam masuk neraka” (As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim no 973 dan sanadnya dinilai baik oleh Al-Albani)
Dalam riwayat yang lain, Ibnu Umar berkata :
مَا زِلْنَا نُمْسِكُ عَنِ الاسْتِغْفَارِ لأَهْلِ الْكَبَائِرِ حَتَّى سَمِعْنَا مِنْ فِي نَبِيِّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ”
“Kami terus tidak memohonkan istghfar bagi pelaku dosa besar hingga kami mendengar dari mulut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa kesyirikan dan mengampuni selain syirik bagi yang Allah kehendaki)” (As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim no 830 dan dihasankan oleh Al-Albani)
Hadits ini menunjukkan bahwa jika ada pelaku dosa besar yang meninggal dalam kondisi syirik akbar maka boleh dipastikan masuk neraka, dan tidak boleh dimohonkan istighfar baginya. Adapun selain itu maka boleh dimohon ampunkan dan tidak boleh dipastikan masuk neraka. Tentu para ulama sepakat bahwa orang yang meninggal dalam kondisi melakukan syirik kecil tidak boleh dipastikan masuk neraka dan tentu boleh dimohon ampunkan untuknya. Ini menunjukkan bahwa ayat hanya mencakup syirik besar saja.
Dan ini adalah pendapat para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir At-Thobary, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan Muhammad al-Amiin asy-Syinqithy (Lihat Adhwaaul Bayaan 5/45), bahkan ini merupakan pendapat seluruh ahli tafsir, tidak seorangpun dari ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat 48 (dari surat An-Nisaa) mencakup syirik kecil.
Ayat ini juga merupakan bantahan terhadap khawarij –yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar kafir dan pasti kekal dalam neraka- dan mu’tazilah –yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar di dunia fi manzilah baina manzilatain dan di akhirat kekal di neraka-
([4])Dalil Kedua : tentang doa nabi Ibrahim ‘alaihis salam agar ia dan keturunannya dijauhkan dari kesyirikan. Dan telah lalu penjelasan bahwa Ibrahim adalah ummah (imam dan qudwah) yang telah memurnikan tauhid.
Sisi pendalilan : Jangan sampai seseorang merasa telah bertauhid sementara ia tidak takut akan kesyirikan. Jika Nabi Ibrahim takut akan terjerumus dalam kesyirikan –padahal ia yang telah menghancurkan berhala dengan kedua tangannya, dan ia juga yang telah mendebat para penyembah berhala dan para penyembah benda-benda langit dengan hujjah yang sangat kuat-, lantas bagaimana lagi dengan kita?. Orang-orang yang beriman berdoa :
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menjadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami” (QS. Ali ‘Imron : 8).
Lihatlah mereka memohon kepada Allah agar tidak menyimpang, kapan?, justru setelah mereka mendapatkan hidayah.
Oleh karenanya merupakan perkara yang aneh jika Ibrahim ‘alaihis salam kawatir dirinya dan keturunannya terjerumus dalam kesyirikan, sementara sebagian orang dengan begitu menggampangkannya tinggal di tengah-tengah orang kafir tanpa ada kondisi darurat. Jika ia bisa menghindarkan diri dari kesyirikan lantas bagaimana dengan anak-anaknya?, jika merekapun bisa terhindar dari kesyirikan lantas bagaimana dengan pergaulan mereka?
Ibrahim At-Taimi rahimahullah berkata :
مَنْ يَأْمَنُ مِنَ الْبَلَاءِ بَعْدَ خَلِيلِ اللَّهِ إِبْرَاهِيمَ، حِينَ يَقُولُ: {رَبِّ وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأصْنَامَ}
“Dan siapakah yang merasa aman dari bencana setelah kekasih Allah Ibrahim tatkala beliau berkata, “Ya Robb jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah berhala” (Tafsir At-Thabari 13/687)
Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata, “Realitanya kebanyakan orang tidak takut kepada kesyirikan. Kalau begitu siapakah yang sebenarnya takut kepada syirik?. Yang takut kesyirikan adalah yang berusaha untuk memurnikan tauhidnya’ (At-Tamhiid hal 50)
Nabi Ibrahim berdoa agar dijauhkan dari الأَصْنَام, dan الأَصْنَامُ adalah kata jamak dari الصَّنَمُ. Dan الصَّنَمُ adalah sesembahan yang dibuat dalam bentuk manusia atau bentuk yang lain. Adapun الأَوْثَانُ (jamak dari الوَثَنُ) adalah seembahan yang tidak berbentuk seperti kuburan yang disembah, atau kubah, atau pohon, atau batu besar tanpa bentuk, dll. Karenanya Nabi berdoa :
اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِى وَثَناً، لَعَنَ الله قَوْماً اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala, Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid” (HR Ahmad no 7358 dengan sanad yang shahih)
Akan tetapi dalam ayat yang lain Allah berfirman tentang perkataan Ibrahim kepada kaumnya ;
إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا
Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. (QS. Al-Ankabut : 17)
Maka para ulama menyatakan, (1) bisa jadi kaum Ibrahim sebagian ada yang menyembah الصَّنَمُ dan sebagian yang lain menyembah الوَثَنُ, atau (2) lafal الوَثَنُ lebih umum, mencakup sesembahan yang berbentuk maupun yang tidak berbentuk, atau (3) terkadang disebutkan الوَثَنُ tapi maksudnya adalah الصَّنَمُ, namun ini sedikit penggunaannya.
Faidah dari ayat ini :
Pertama : Takut akan kesyirikan
Kedua : Disyariatkannya berdoa untuk diri sendiri dan juga anak keturunan agar terjauhkan dari kesyirikan
Ketiga : Bantahan terhadap sebagian orang jahil yang menyatakan tidak akan terjadi kesyirikan pada umat ini. Jika Ibrahim saja kawatir akan dirinya dan keturunannya maka bagaimana lagi dengan yang lain?. Kenyataan juga menunjukkan bahwa pernyataan ini adalah batil
([5])Dalil Ketiga : Sisi pendalilannya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhawatirkan para sahabat terjerumus ke dalam syirik kecil, padahal iman para sahabat begitu tinggi, maka bagaimana lagi dengan kita?.
Hadits ini selengkapnya sebagai berikut :
إِنَّ أَخْوَفَ ما أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قالوا وما الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يا رَسُولَ اللَّهِ قال الرِّيَاءُ يقول الله عز وجل لهم يوم الْقِيَامَةِ إذا جُزِىَ الناس بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إلى الَّذِينَ كُنْتُمْ تراؤون في الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هل تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
“Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil”, mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil?”, beliau berkata, “Riyaa’, pada hari kiamat tatkala manusia dibalas amal perbuatan mereka maka Allah berkata kepada orang-orang yang riyaa’, “Pergilah kaliah kepada orang-orang yang dahulu kalian riyaa’ kepada mereka (mencari pujian mereka -pen) semasa di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan ganjaran kalian dari mereka?” (HR Ahmad dalam musnadnya 5/428 no 23680, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Bulugul Marom dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As-Shahihah no 951. Hadits ini merupakan riwayat Mahmud bin Labid, seorang sahabat, ia melihat Nabi akan tetapi tidak sah periwayatannya dari Nabi, seluruh periwatannya dari sahabat yang lain. Karenanya hadits ini termasuk mursal shahabiy, akan tetapi mursal shahabiy hukumnya shahih karena yang dijatuhkan juga sahabat yang lain, dan seluruh sahabat adil)
Hadits ini merupakan nash yang tegas akan pembagian syirik menjadi dua, syirik besar dan syirik kecil. Apakah yang dimaksud dengan syirik kecil?
Sebagian ulama berpendapat bahwa syirik kecil adalah :
جَمِيْعُ الأَقْوَالِ وَالأَفْعَالِ الَّتِي يُتَوَسَّلُ بِهَا إِلَى الشِّرْكِ الأَكْبَرِ
“Seluruh perkataan dan perbuatan yang mengantarkan kepada syirik besar” (Al-Qoul As-Sadidi, karya As-Sa’di hal 32)
Namun definisi ini dikritik oleh sebagian ulama, karena ada perkara-perkara yang bisa mengantarkan kepada syirik besar namun bukan merupakan syirik kecil, seperti bertawassul dengan dzat orang-orang shalih, berdoa kepada Allah di kuburan orang shalih, dan pengkultusan kepada orang-orang shalih (selama tidak sampai pada derajat ibadah), ini semua merupakan bid’ah dan bukan syirik. Dan jenis syirik tentu lebih berbahaya dari jenis bid’ah.
Sebagian ulama mendefinisikan syirik kecil dengan lebih ketat, yaitu :
كُلُّ مَا جَاءَتِ النُّصُوْصُ بِتَسْمِيَتِهُ شِرْكاً وَدَلَّتِ الدَّلاَئِلُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ مُخْرِجًا مِنَ الْمِلَّةِ (أي لَمْ يَصِلْ إِلَى حَدِّ الشِّرْكِ الأَكْبَرِ)
“Semua perkara yang dinamakan oleh nash-nash sebagai syirik, akan tetapi dalil-dalil menunjukkan bahwa perkara tersebut tidaklah mengeluarkan pelakunya dari Islam (yaitu derajatnya tidak sampai syirik akbar)”
Definisi ini hanya membatasi syirik kecil pada contoh-contoh yang datang dalam dalil-dalil, seperti riya’, bersumpah dengan nama selain Allah, tathoyyur, memakai jimat, dan mengatakan “Atas kehendak Allah dan kehendakmu”. Pendapat ini lebih kuat dan lebih berkaidah. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al-Lajnah Ad-Daimah (Fatawa al-Lajnah Ad-Daimiah 1/517)
Sebagian ulama menambah pembagian syirik jenis ketiga, yaitu syirik khofiy (syirik yang samar). Akan tetapi sebenarnya syirik khofiy telah masuk ke dalam syirik besar atau syirik kecil, karena syirik besar ada yang khofiy sebagaimana syirik kecilpun demikian.
Adapun perbedaan antara syirik besar dan syirik kecil :
- Syirik akbar menghapuskan seluruh amal, sedang syirik kecil hanya menghapuskan amal yang disertainya saja.
- Syirik akbar mengakibatkan pelakunya kekal di dalam neraka, sedang syirik kecil tidak sampai demikian.
- Syirik akbar menjadikan pelakunya keluar dari Islam, sedang syirik kecil tidak menyebabkan keluar dari Islam
Riya’ artinya beramal shalih untuk dilihat oleh orang lain. Dan riyaa’ terbagi menjadi dua
Pertama : Riya’ nya orang-orang munafik, dimana riya mereka berkaitan dengan pokok agama mereka, yaitu mereka menampakan Islam kepada manusia sementara hati mereka menyembunyikan kekafiran
Kedua : Riya’ nya seorang muslim yang bertauhid, seperti memperbagus shalatnya agar dilihat dan dipuji orang lain, menampakan sedekahnya, memperindah tilawah qur’annya, memperbagus ceramahnya, dll.
Kondisi amalan seseorang yang tercampur riya’ bisa dalam beberapa kondisi :
- Sejak awal niatnya memang untuk dipuji. Sebelum shalat, atau sebelum berdakwah, atau sebelum umrah dan haji memang niatnya untuk dipuji. Maka amalnya terhapus secara total dari awal hingga akhir.
- Riya’nya muncul di tengah ibadah, namun ia berusaha melawan dan mengusir riya’ tersebut. Jika ia berhasil maka amalnya selamat, bahkan bisa jadi ia mendapat pahala tambahan karena berusaha melawan maksiat.
- Jika ia tidak berhasil menolak riya yang muncul di tengah amalnya tersebut, maka ada khilaf di kalangan para ulama. Sebagian ulama memandang jika amalnya merupakan satu kesatuan (seperti shalat, yang rakaat pertama berkaitan dengan rakaat-rakaat berikutnya) maka amalnya gugur. Sebagian ulama yang lainnya berpendapat bahwa amalnya tetap berpahala karena dibangun di atas keikhlasan. Ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Al-Imam Ahmad, Ibnu Jarir at-Thabari dan diriwayatkan dari Hasan Al-Bashri (lihat Jami’ul Ulum wal Hikam 1/83-84)
- Jika riya’ nya muncul setelah amal selesai, dimana ia menceritakan kepada orang lain tentang amal shalihnya agar dipuji, maka pada hakekatnya ini adalah dosa tersendiri dan tidak ada kaitannya dengan amal yang telah lewat. Namun Ibnul Qoyyim rahimahullah (dalam kitabnya al-wabil as-shoyyib) berpendapat bahwa amal tetap saja gugur meskipun riya’nya muncul setelah selesai beramal.
([6]) Dalil Keempat : Orang yang mati dalam kondisi berdoa kepada selain Allah maka akan masuk neraka.
Sesungguhnya doa merupakan ibadah yang sangat penting, karena pada doa nampaklah kerendahan dan ketundukan orang yang berdoa kepada dzat yang ditujukan doa. Pantas saja jika Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ : {وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ}.
“Doa itulah ibadah”, kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam membaca firman Allah ((Dan Robb kalian berkata : Berdoalah kepadaKu niscaya Aku kabulkan bagi kalian))” (HR Ahmad no 18352, Abu Dawud no 1481, At-Tirmidzi no 2969, Ibnu Maajah no 3828, dan isnadnya dinyatakan jayyid (baik) oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 1/49)
Ibnu Hajar berkata menjelaskan agungnya ibadah doa
أَنَّ الدُّعَاءَ مِنْ أَعْظَمِ الْعِبَادَةِ فَهُوَ كَالْحَدِيثِ الْآخَرِ الْحَجُّ عَرَفَةُ أَيْ مُعْظَمُ الْحَجِّ وَرُكْنُهُ الْأَكْبَرُ وَيُؤَيِّدُهُ مَا أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ رَفَعَهُ الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ وَقَدْ تَوَارَدَتِ الْآثَارُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّرْغِيبِ فِي الدُّعَاءِ وَالْحَثِّ عَلَيْهِ كَحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الدُّعَاءِ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وبن ماجة وَصَححهُ بن حبَان
“Jumhur (mayoritas ulama) menjawab bahwasanya doa termasuk ibadah yang paling agung, dan hadits ini seperti hadits yang lain
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Haji adalah (wuquf di padang) Arofah”
Maksudnya (wuquf di Arofah) merupakan dominannya haji dan rukun haji yang paling besar. Hal ini dikuatkan dengan hadits yang dikeluarkan oleh At-Thirimidzi dari hadits Anas secara marfuu’ :
الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ
“Doa adalah inti ibadah”
Telah banyak hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi dan mendorong untuk berdoa, seperti hadits Abu Huroiroh yang marfuu’:
لَيْسَ شَيْئٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ
“Tidak ada sesuatupun yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa”
Diriwayatkan oleh At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbaan” (Fathul Baari 11/94)
Al-Halimi (wafat tahun 403 H) berkata :
كل من سأل ودعا فقد أظهر الحاجة، وباح بها واعترف بالذلة والفقر والفاقة لمن يدعوه ويسأله، فكان ذلك في العبد نظير العبادات التي يتقرب بها إلى الله عز اسمه، ولذلك قال الله عز وجل ((ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ)) فأبان الدعاء عبادةً
“Dan doa secara umum merupakan bentuk ketundukkan dan perendahan, karena setiap orang yang meminta dan berdoa maka ia telah menampakkan hajatnya (kebutuhannya) dan mengakui kerendahan dan kebutuhan kepada Dzat yang ia berdoa kepadanya dan memintanya. Maka hal itu pada hamba seperti ibadah-ibadah yang dilakukan untuk bertaqorrub kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Oleh karenanya Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman ((Berdoalah kepadaku niscaya akan Aku kabulkan, sesungguhnya orang-orang yang sombong dari beribadah kepadaku akan masuk dalam neraka jahannam dalam keadaan terhina)). Maka Allah subhaanahu wa ta’aala menjelaskan bawhasanya doa adalah ibadah” (Al-Minhaaj fai syu’ab Al-Iimaan 1/517)
Ar-Roozi berkata
وَقَالَ الْجُمْهُورُ الْأَعْظَمُ مِنَ الْعُقَلَاءِ: إِنَّ الدُّعَاءَ أَهَمُّ مَقَامَاتِ الْعُبُودِيَّةِ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ وُجُوهٌ مِنَ النَّقْلِ وَالْعَقْلِ، أَمَّا الدَّلَائِلُ النَّقْلِيَّةُ فَكَثِيرَةٌ
“Dan mayoritas orang berakal berkata: Sesungguhnya doa merupakan kedudukan peribadatan yang paling penting, dan hal ini ditunjukkan dari sisi (yang banyak) dari dalil naql (ayat maupun hadits-pen) maupun akal. Adapun dalil naql maka banyak” (Mafaatihul Ghoib 5/105)
Kemudian Ar-Roozi menyebutkan dalil yang banyak, setelah itu kemudian ia berkata :
قَالَ: وَإِذا سَأَلَكَ عِبادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ وَلَمْ يَقُلْ فَقُلْ إِنِّي قَرِيبٌ فَتَدُلُّ عَلَى تَعْظِيمِ حَالِ الدُّعَاءِ مِنْ وُجُوْهٍ الْأَوَّلُ: كَأَنَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَقُولُ عَبْدِي أَنْتَ إِنَّمَا تَحْتَاجُ إِلَى الْوَاسِطَةِ فِي غَيْرِ وَقْتِ الدُّعَاءِ أَمَّا فِي مَقَامِ الدُّعَاءِ فَلَا وَاسِطَةَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ
“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman ((Dan jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang aku maka sesungguhnya aku dekat)), dan Allah subhaanahu wa ta’aala tidak berkata ((Katakanlah aku dekat)), maka ayat ini menunjukkan akan pengagungan kondisi tatkala berdoa dari banyak sisi. Yang pertama, seakan-akan Allah subhaanahu wa ta’aala berkata : HambaKu engkau hanyalah membutuhkan washithoh (perantara) di selain waktu berdoa’ adapun dalam kondisi berdoa maka tidak ada perantara antara Aku dan engkau” (Mafaatihul Goib 5/106)
Lantas bagaimana jika kerendahan dan ketundukkan kondisi seseorang yang sedang berdoa ini diserahkan dan diperuntukkan kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala?, kepada para nabi dan para wali??!!. Bukankah ini merupakan bentuk beribadah kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala alias syirik??!! Jika berdoa kepada Allah merupakan ibadah yang sangat agung maka berdoa kepada selain Allah merupakan bentuk kesyirikan yang sangat agung !!
Penjelasan lafal-lafal hadits :
- مَنْ (barang siapa), ism syarat, memberikan faidah keumuman. Maka siapa saja yang mati dalam kondisi kesyirikan, tidak pandang bulu, apakah yang mati itu seorang lelaki atau wanita atau raja atau rakyat jelata, atau murid atau ustadz
- مَاتَ (mati), dan ini mewajibkan kita untuk takut, karena tidak seorangpun diantara kita yang mengetahui kapan dirinya akan meninggal dunia?, terlebih lagi tidak mengetahui bagaimana kondisinya tatkala meninggal dunia?, apakah dalam kondisi bertauhid ataukah dalam kondisi terjerumus dalam kesyirikan?. Betapa banyak orang di pagi hari masih tertawa akan tetapi malamnya masuk dalam liang lahad.
- وَهُوَ يَدْعُو مِنْ دُوْنِ اللهِ (dalam kondisi berdoa kepada selain Allah). Kata “berdoa” di sini mencakup do’a al-ibadah dan do’a al-mas’alah (permintaan).
Pertama : Do’a al-ibadah mencakup semua ibadah, karena jika seseorang sedang shalat, atau puasa atau ruku’ atau sujud, maka pada hekikatnya kondisinya menunjukkan bahwa ia sedang memohon kepada Allah agar diampuni, diselamatkan dari neraka jahanam, dan dimasukan ke dalam surga. Dan doa ibadah yaitu ibadah itu sendiri, dan memalingkan ibadah kepada selain Allah merupakan kesyirikan.
Kedua : Doa al-mas’alah (permintaan) maka ini sebagaimana doa yang kita kenal yaitu memohon.
- نِدَّا (sesuatu apapun), nakiroh dalam konteks syarat juga memberikan keumuman, maka mencakup siapapun yang ditujukan kepadanya doa hamba. Baik nabi atau malaikat atau wali atau jin
- دَخَلَ النَّارَ (masuk neraka), yaitu kekal di dalamnya jika kesyirikan yang dilakukannya adalah syirik akbar.
([7]) Dalil Kelima : sisi pendalilannya sama dengan hadits Ibnu Mas’ud yang lalu. Karena barangsiapa yang bertemu dengan Allah (yaitu ia meninggal dunia) maka ia akan masuk neraka. Tentu hal ini menjadikan seseorang takut dengan kesyirikan agar ia terhidar dari kesyirikan.
Hendaknya seseorang senantiasa berusaha meningkatkan dan menguatkan tauhidnya agar semakin terjauh dari kesyirikan. Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata :
فَإِنَّ الإِخْلاَصَ بِطَبِيْعَتِهِ يَدْفَعُ الشِّرْكَ الأَكْبَرَ وَالأَصْغَرَ، وَكُلُّ مَنْ وَقَعَ مِنْهُ نَوْعٌ مِنَ الشِّرْكِ فَلِضَعْفِ إِخْلاَصِهِ
“Sesungguhnya ikhlas secara tabi’atnya akan menolak syirik akbar dan syirik ashghor, dan siapa yang terjerumus dalam bentuk kesyirikan itu dikarenakan lemahnya keikhlasannya” (Al-Qoul As-Sadid hal 32)
([8]) Justru penyakit riya’ memang menyerang orang-orang yang shalih yang sibuk dengan beribadah. Adapun para pelaku kemaksiatan maka apakah yang mau mereka pamerkan dan mereka riya’kan?
Orang-orang shalihlah yang menjadi pusat perhatian masyarakat, yang selalu dipuji oleh masyarakat. Maka merekalah yang dikawatirkan terkena penyakit riyaa’, karena pujian sungguh merupakan ujian yang berat yang sangat mudah menjerumuskan seseorang dalam kubangan riya’.
Bersambung insya Allah…