Fatwa Ulama: Siapa Itu Salafi?

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si
Artikel: Muslim.or.id

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullah

Suatu ketika, syekh mendapat pertanyaan,

أسمع عن السلف من هم السلف يا فضيلة الشيخ

“Saya mendangar tentang ‘salaf‘. Siapakah yang dimaksud dengan salaf itu wahai syekh yang mulia?”

Beliau Rahimahullah menjawab,

السلف معناه المتقدمون فكل متقدم على غيره فهو سلف له ولكن إذا أطلق لفظ السلف فالمراد به القرون الثلاثة المفضلة الصحابة والتابعون وتابعوهم هؤلاء هم السلف الصالح

“Salaf adalah orang-orang yang terdahulu. Oleh sebab itu, siapa saja yang hidup lebih dulu daripada orang lain dinamakan sebagai salaf/pendahulu baginya. Akan tetapi, jika disebutkan istilah “salaf”, biasanya yang dimaksudkan adalah tiga generasi yang utama, yakni sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka itulah salafusshalih/para pendahulu yang baik.”

ومن كان بعدهم وسار على منهاجهم فإنه مثلهم على طريقة السلف وإن كان متأخراً عنهم في الزمن لأن السلفية تطلق على المنهاج الذي سلكه السلف الصالح رضي الله عنهم كما قال النبي عليه الصلاة والسلام (إني أمتي ستفترق على ثلاثة وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة وهي الجماعة

“Barang siapa yang ada setelah mereka dan meniti jalan mereka, maka sesungguhnya dia serupa dengan mereka, yaitu sama-sama di atas jalan salaf, meskipun mereka secara waktu datang belakangan. Hal ini karena salafiyah adalah sebutan untuk manhaj/jalan beragama yang ditempuh oleh salafus shalih Radhiyallahu’anhum. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Sesungguhnya umatku ini akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya di neraka kecuali satu, yaitu al-Jama’ah.‘”

وفي لفظ (من كان على مثل ما أنا عليه وأصحابي) وبناء على ذلك تكون السلفية هنا مقيدة بالمعنى فكل من كان على منهاج الصحابة والتابعين وتابعيهم بإحسان فهو سلفي وإن كان في عصرنا هذا وهو القرن الرابع عشر بعد الهجرة نعم

“Dalam lafal hadis yang lain disebutkan, ‘Mereka adalah orang-orang yang beragama sebagaimana aku dan para sahabatku.’ Berdasarkan hal ini, salafiyah yang biasa dibicarakan ini telah terikat dengan suatu makna yang khusus. Dengan demikian, siapa pun orangnya yang berada di atas jalan beragama para sahabat, tabi’in, dan para pengikut setia mereka, maka dia adalah seorang salafi/pengikut salaf. Meskipun dia hidup di masa kita ini, yaitu pada abad ke-empat belas hijriyah, na’am.” (Sumber: http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_969)

Kewajiban mengikuti jalan generasi terbaik

Syekh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan Hafizhahullah mengatakan,

“Maka mereka itu -sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in/salafus shalih, pent- adalah teladan bagi umat ini. Manhaj mereka adalah jalan yang mereka berjalan di atasnya, yaitu dalam hal akidah mereka, dalam hal muamalah mereka, dalam hal akhlak mereka, dan dalam segala urusan mereka. Itulah manhaj yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Hal ini karena begitu dekatnya mereka –salafus shalih– dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena kedekatan mereka dengan masa turunnya wahyu. Begitu juga karena mereka mengambilnya langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu, mereka menjadi generasi yang terbaik, dan manhaj/jalan mereka adalah sebaik-baik jalan.” (Lihat Manhaj as-Salaf ash-Shalih wa Haajatul Ummah Ilaih, hal. 2-3).

Syekh Dr. Shalih al-Fauzan Hafizhahullah juga mewasiatkan,

“Barang siapa yang menginginkan keselamatan, mereka wajib untuk mengenali mazhab salaf, dan berpegang teguh dengannya, serta mendakwahkan kepadanya. Inilah jalan keselamatan. Ia laksana bahtera Nuh ‘Alaihis salam. Barang siapa menaikinya, maka dia akan selamat. Barang siapa yang tertinggal darinya, pasti binasa dan tenggelam dalam kesesatan. Oleh sebab itu, tiada keselamatan bagi kita kecuali dengan mazhab salaf.

Tidak mungkin kita mengerti mazhab salaf kecuali dengan belajar (baca; ngaji), yaitu menimba ilmu, mengajarkan, dan mengkajinya. Di samping itu, kita juga harus senantiasa memohon kepada Allah Ta’ala, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka.’ Maksudnya, kita memohon kepada Allah Ta’ala agar selalu memberikan taufik kepada kita untuk berjalan di atasnya (jalan yang lurus) dan meneguhkan kita di atasnya. Inilah yang harus kita lakukan.

Permasalahannya bukanlah pada perkara pengakuan (dengan mengaku ahlussunnah atau pengikut salaf, pent). Sebab ‘pengakuan yang tidak ditopang dengan bukti-bukti itu hanya akan jadi omong kosong belaka’ (kata pepatah arab, pent.). Jadi, bukanlah yang menjadi sumber masalah adalah persoalan intisab/penyandaran diri. Sedangkan Allah jalla wa ‘ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَٰنٍ

“Dan orang-orang yang mengikuti mereka (sahabat) dengan ihsan/baik.” (QS. At-Taubah: 100).

Artinya, (harus mengikuti) dengan itqan/mapan dan benar. Anda tidak akan bisa mapan dan benar dalam meniti mazhab salaf kecuali apabila Anda mengenali dan mempelajarinya. Anda tidaklah (disebut) berpegang teguh dengannya kecuali apabila Anda bersabar di atasnya.” (Lihat Manhaj as-Salaf ash-Shalih wa Haajatul Ummah Ilaih, hal. 11).

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si
Artikel: Muslim.or.id