Oleh : Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.

Tahlilan adalah ritual berkumpul di keluarga kematian dengan disertai doa doa dan pembagian makanan untuk para penta’ziyah. Dalam bahasa arab lebih dikenal dengan istilah ma’tam.

Jarir bin Abdillah Al Bajali berkata:

” كنا نعد(وفى رواية نرى) الاجتماع الى اهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة”.

“Dahulu kami menganggap berkumpul kepada keluarga kematian dan membuat makanan setelah dikuburkan adalah termasuk meratap” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu‘ (5/320) dan Al Bushiri dalam Zawaid-nya).

Imam An Nawawi berkata dalam Al Majmu’ (5/306):

واما الجلوس للتعزية فنص الشافعى والمصنف (أى الشيرازى) وسائر الاصحاب على كراهته قالوا يعنى بالجلوس لها أن يجتمع أهل الميت فى يبت فيقصدهم من أراد التعزية  قالوا بل ينبغى ان ينصرفوا فى حوائجهم فمن صادفهم عزاهم ولافرق بين الرجال والنساء فى كراهة الجلوس لها”

“Adapun duduk untuk ta’ziyah maka Imam Asy Syafii, Asy Syairozi, dan seluruh ashab menyatakan karohahnya.
Mereka berkata: Yang dimaksud dengan duduk untuk ta’ziyah adalah berkumpulnya keluarga kematian lalu orang yang bertakziyah bermaksud kepada mereka. Mereka berkata: Hendaklah mereka pergi masing masing dengan kebutuhannya. Siapa yang kebetulan bertemu mereka, silahkan ia bertakziyah. Tidak ada bedanya baik wanita maupun laki laki. Ini adalah pernyataan imam Nawawi bahwa pendapat imam Syafii dan seluruh ashab madzhab syafii menyatakan makruhnya, dan yang dimaksud makruh di sini adalah makruh tahrim“.

Namun para pembela tahlilan berupaya mencari pembenaran dengan dalil yang mereka pandang mendukung walaupun lemah sekalipun. Di antaranya adalah:

Syubhat 1

Riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai berikut:

عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رضي الله عنه يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رضي الله عنه فَأَمَرَ صُهَيْبًا رضي الله عنه أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. (المطالب العالية، 5/328).

“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya”. Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328).

Atsar ini terdapat dalam sanadnya Ali bin Zaid bin Jud’an. Para ulama mendhaifkannya.

  • Ibnu Sa’ad berkata: “Padanya terdapat kelemahan dan tidak boleh dijadikan hujjah”.
  • Imam Ahmad berkata: “Laisa bil qowiy (tidak kuat)”.
  • Yahya bin Ma’in dalam riwayat Ibnu Khoitsamah berkata: “dhoif pada segala sesuatu”.
  • Abu Zur’ah berkata: “Laisa biqowiy“.
  • An Nasai berkata: “ia dhoif”.
  • Ibnu Hajar dalam Taqrib-nya berkata: “ia dho’if”.

Adapun perkataan Al Haitsami bahwa ia hasan adalah perkataan yang tak berhujjah. Bertabrakan dengan pernyataan para ulama hadits.

Syubhat 2

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم

“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hari orang yang sedang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan” (HR. Muslim [2216]).

Hadits ini sama sekali tidak menunjukkan bolehnya tahlilan. Aisyah hanya membuatkan makanan untuk keluarga kematian dan kerabatnya saja untuk menghibur mereka tanpa ada acara berkumpul. Oleh karena itu beliau melakukannya setelah para wanita itu pergi. Yang seperti ini dianjurkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits:

اصنعوا لال جعفر طعاما

Buatkanlah untuk keluarga Ja’far makanan” (HR. Ahmad).

Imam Asy Syairozi berkata: “Disukai bagi kerabat mayat dan tetangganya untuk membuatkan makanan untuk mereka” (Syarah Muhadzab, 5/289).

Ash Shon’ani berkata:

فيه دليل على شرعية إيناس أهل الميت بصنع الطعام لهم لما هم فيه من الشغل بالموت

“Padanya terdapat dalil disyariatkannya menghibur keluarga mayat, karena disibukkan oleh kematian” (Subulussalam, 2/237).

Asyhab berkata: “Imam Malik ditanya tentang keluarga mayat, bolehkah dikirimi makanan? beliau menjawab: Sesungguhnya aku membenci meratap, dan jika itu bukan dalam rangka meratap, silahkan dikirim”. Lalu Muhammad bin Rusyd mengomentari:

وهذا كما قال؛ لأن إرسال الطعام إلى أهل الميت لاشتغالهم بميتهم إذا لم يكونوا اجتمعوا لمناحة، من الفعل الحسن المرغب فيه المندوب إليه

Memang demikian, karena mengirim makanan kepada keluarga mayat bila tidak disertai berkumpul untuk niyahah maka itu perbuatan baik yang dianjurkan” (Al Bayan Wat Tahshiil).

Syubhat 3:

Mereka mengatakan:

Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, berpandangan bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:

يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.

“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).

Kitab jawab:

Sayangnya mereka tidak membawakan perkataan tersebut secara lengkap. Sebelumnya di halaman 217, Syaikh Abdullah Al Jurdani berkata:

ومن البدع المكروهة ما يفعله الناس مما يسمى بالكفارة ومن صنع طعام للاجتماع عليه قبل الدفن أو بعده ومن الذبح على القبر ومن الجمع والأربعين بل ذلك كله حرام إن كان من مال الميت وعليه دين أو كان في ورثته محجور عليه أو غائب

“Termasuk bid’ah yang makruh adalah yang dilakukan oleh manusia dari apa yang mereka sebut kaffarat, atau berupa membuat makanan untuk berkumpul padanya sbelum dikubur atau setelah dikubur, dan berupa menyembelih di kuburan, dan berupa juma’ dan arba’in. Bahkan semua itu haram bila berasal dari harta mayat yng memiliki hutang, atau ia dihajr pada ahli waritsnya atau gaib”.

Lihatlah, beliau dengan tegas menyatakan bahwa membuat makanan untuk berkumpul pada keluarga mayat adalah termasuk bid’ah. Kemudian beliau mengecualikan darinya juma’ saja. Berarti selain itu adalah haram. Namun pengecualian ini pun membutuhkan dalil, dan tidak ada dalil. terlebih para ulama telah memutlakkan pengharamannya sebagai mana telah disebutkan. Dan riwayat Asyhab di atas membantah pendapat tersebut.

Syubhat 4

Mereka mengatakan:

Al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab az-Zuhd:

عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ

“Dari Sufyan berkata: Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”

Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).

Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi.

Kitab jawab:

Kalaupun atsar itu shahih, apakah menunjukkan bolehnya tahlilan? Sekali kali tidak. Atsar itu hanya menunjukkan bersedekah untuk mayat (memperbanyak amalan sedekah, pahalanya diniatkan untuk mayit, red.). Adapun berkumpul di keluarga mayat dan membuat makanan untuk berkumpul di sana adalah perkara yang diingkari oleh imam As Suyuthiy sendiri. Dalam kitab Syarhut Tanbih (1/219) beliau berkata:

ويكره الجلوس لها -أي للتعزية- بأن يجتمع أهل الميت ويقصدهم لأنه بدعة

“Dan dimakruhkan duduk untuk takziyah dengan cara berkumpulnya keluarga mayat dan (pentakziyah) bermaksud kepada mereka karena itu adalah bid’ah”.

Lihatlah, Imam As Suyuthiy tidak memahami dari atsar tersebut bolehnya berkumpul di keluarga mayat. Dan telah disebutkan perkataan Imam An Nawawi, pernyataan Imam Syafi’i dan ashabmadzhab Syafi’i yang menganggapnya bid’ah.

Riwayat tersebut kalaupun misalnya kita anggap shahih, sebetulnya tidak menunjukkan kepada hal itu dari beberapa sisi:

  1. Riwayat tersebut hanya menyebutkan bahwa salaf memberi makan untuk mayat. Bukan berkumpul di keluarga mayat dan makan di sana, karena berkumpul di keluarga mayat untuk takziyah dilarang oleh para ulama sebagaimana pernah dibahas.
  2. Mereka membolehkan hari ke 40, ke 100 dan seterusnya karena melihat angka tujuh. Jadi menurut mereka bisa diqiyaskan. Ini sebuah kesalahan fatal. Karena alasan 7 hari itu karena difitnah dalam kubur. Sedangkan fitnah kubur adalah masalah aqidah yang tidak mungkin bisa diqiyaskan.
  3. Di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam, shahabat yang meninggal banyak sekali, termasuk anak beliau Ruqoyyah dan Ummu Kultsum. Namun tidak ada satupun riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi memberi makan untuk mereka selama tujuh hari.
    Bahkan dalam riwayat yang shahih, setelah Nabi shallallahu alaihi wasallam menguburkan jenazah shahabat beliau bersabda:استغفروا لأخيكم وسلوا له التثبيت فإنه الان يسأل

    Mohonkan ampun untuk saudara kalian ini, mintalah untuknya kekuatan, karena sekarang ia sedang ditanya” (HR Abu Dawud).
    Beliau setelah itu tidak menyuruh untuk memberi makan untuknya selama tujuh hari.

  4. Di Zaman para shahabat, ketika Abu Bakar meninggal, demikian pula shahabat lainnya tidak pula dinukil bahwa mereka memberi makan untuk mayat selama tujuh hari.
  5. Periwayatan Sufyan Ats Tsauri dari Thawus kebanyakan melalui perantara, dan di sini Sufyan hanya berkata: berkata Thawus, dan ini tidak sharih beliau mendengar dari Thawus. Walaupun ada kemungkinan Sufyan menndengar dari Thawus dilihat dari tarikhnya. Namun bila melihat riwayat riwayat di zaman Nabi dan para shahabat, menimbulkan keraguan akan kebenaran riwayat tersebut.
  6. Perkataan tabiin: “dahulu salaf melakukan begini..” tidak dihukumi marfu atas pendapat yang paling kuat. Karena bisa jadi yang dimaksud “mereka” di sini adalah tabi’in juga. Dan kemungkinan antara shahabat dan tabi’in dalam ucapan tersebut masih sama kuatnya, sehingga hanya menimbulkan keraguan.

Jadi berhujjah dengan riwayat tersebut lemah dari semua sisinya.

***

Sumber: channel Al Fawaid

Artikel Muslim.or.id