Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Islam juga mengajarkan mengucapkan salam dan melayani tamu. Berikut kami sebutkan tiga ayat yang dibahas dalam Riyadh Ash-Shalihin karya Imam Nawawi, berserta penjelasan ulama di dalamnya.

 

Kumpulan Hadits Kitab Riyadhush Sholihin karya Imam Nawawi

Kitab As-Salam

Bab 131. Bab Keutamaan Salam dan Perintah Meyebarkan Salam

[Ayat Kedua]

 

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً

Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.” (QS. An-Nuur: 61)

 

Faedah Ayat

 

Jika memasuki rumah siapa pun, baik rumah sendiri maupun rumah orang lain, hendaklah mengucapkan salam. Begitu pula tetap mengucapkan salam jika rumah tersebut berpenghuni ataukah tidak. Jika seseorang memasuki rumah, maka ucapkanlah salam satu dan lainnya walau ayat disebut “salam kepada dirimu sendiri” karena satu muslim dan lainnya adalah satu badan sehingga diperintahkan saling menyayangi dan mengasihi.

Salam itu adalah penghormatan dari sisi Allah, maksudnya merupakan syariat dari Allah yang diberi berkat dengan selamat dari kekurangan dan mendapatkan rahmat. Ucapan salam itu bagian dari kalimut thayyib, ucapan yang baik yang dicintai oleh Allah.

mengucapkan salam pada rumah yang tidak berpenghuni atau tidak ada seorang pun di rumah tersebut tidaklah wajib, namun hanya disunnahkan saja.

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

إِذَا دَخَلَ البَيْتَ غَيْرَ المَسْكُوْنِ، فَلْيَقُلْ: السَّلاَمُ عَلَيْنَا، وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ

“Jika seseorang masuk rumah yang tidak didiami, maka ucapkanlah “ASSALAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBADILLAHISH SHOLIHIIN (salam bagi diri kami dan salam bagi hamba Allah yang saleh)” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod 806/1055.Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath, 11:17).

Hal di atas diucapkan ketika rumah kosong. Namun jika ada keluarga atau pembantu di dalamnya, maka ucapkanlah “Assalamu ‘alaikum”. Namun jika memasuki masjid, maka ucapkanlah “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin”. Sedangkan Ibnu ‘Umar menganggap salam yang terakhir ini diucapkan ketika memasuki rumah kosong.

Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Adzkar berkata, “Disunnahkan bila seseorang memasuki rumah sendiri untuk mengucapkan salam meskipun tidak ada penghuninya. Yaitu ucapkanlah “ASSALAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBADILLAHISH SHOLIHIIN”. Begitu pula ketika memasuki masjid, rumah orang lain yang kosong, disunnahkan pula mengucapkan salam yang salam “ASSALAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBADILLAHISH SHOLIHIIN. ASSALAMU ‘ALAIKUM AHLAL BAIT WA RAHMATULLAH WA BARAKATUH”. (Al-Adzkar, hlm. 468-469).

Maksud kalimat “Assalaamu ‘alainaa” menunjukkan seharusnya do’a dimulai untuk diri sendiri, lalu orang lain. Sedangkan kalimat “wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin”, yaitu salam pada hamba yang saleh, maksud saleh adalah orang yang menjalani kewajiban, hak Allah dan juga hak hamba. (Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad, 3:186).

 

 [Ayat Ketiga]

 

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An-Nisaa’: 86)

Faedah Ayat

 

Tahiyyah dalam ayat maksudnya adalah ucapan dari orang yang saling bertemu di mana saling memuliakan dan mendoakan. Penghormatan yang paling yang diajarkan oleh syariat Islam adalah ucapan salam baik ketika memulai dan membalasnya.

Bentuk membalas salam di sini boleh dengan yang semisal atau yang lebih baik, dan tidak boleh lebih rendah dari ucapan salamnya tadi. Contohnya di sini adalah jika saudara kita memberi salam: Assalaamu ‘alaikum, maka minimal kita jawab: Wa’laikumus salam. Atau lebih lengkap lagi dan ini lebih baik, kita jawab dengan: Wa’alaikumus salam wa rahmatullah, atau kita tambahkan lagi: Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barokatuh. Begitu pula jika kita diberi salam: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah, maka minimal kita jawab: Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi, atau jika ingin melengkapi, kita ucapkan: Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi wa barokatuh. Ini di antara bentuknya.

Bentuk lainnya adalah jika kita diberi salam dengan suara yang jelas, maka hendaklah kita jawab dengan suara yang jelas, dan tidak boleh dibalas hanya dengan lirih.

Begitu juga jika saudara kita memberi salam dengan tersenyum dan menghadapkan wajahnya pada kita, maka hendaklah kita balas salam tersebut sambil tersenyum dan menghadapkan wajah padanya. Inilah di antara bentuk membalas. Hendaklah kita membalas salam minimal sama dengan salam pertama tadi, begitu juga dalam tata cara penyampaiannya. Namun, jika kita ingin lebih baik dan lebih mendapatkan keutamaan, maka hendaklah kita membalas salam tersebut dengan yang lebih baik, sebagaimana yang kami contohkan di atas. (Lihat penjelasan ini di Syarh Riyadh Ash-Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin pada Bab ‘Al Mubadaroh ilal Khiyarot)

 

[Ayat Keempat]

 

Allah Ta’ala berfirman,

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ (24) إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ (25) فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ (26) فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ (27) فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ (28) فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ (29) قَالُوا كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ (30)

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaama”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.  Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.” (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).” (QS. Adz Dzariyat: 24-30)

 

Faedah Ayat

 

  1. Malaikat yang mulia mendatangi Nabi Ibrahim ‘alaihis salam untuk memberikan kabar gembira tentang anak yang akan lahir yaitu Ishaq, dari Ishaq lahirlah Ya’qub.
  2. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam menemui malaikat yang hadir dan menjawab salam mereka, padahal para malaikat tersebut (yaitu Jibril, Mikail, Israfil) datang dalam bentuk rupa pemuda yang bagus rupawan.
  3. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam membalas salam mereka dengan ucapan salam yang lebih baik.
  4. Nabi Ibrahim adalah yang pertama kali melayani tamu dengan baik.
  5. Tamunya dilayani dengan menu istimewa yang ia miliki yaitu ‘ijlin samiin, anak sapi yang gemuk.
  6. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mengajak tamunya makan dengan menggunakan kalimat yang halus, “Alaa ta’kuluun”, ayo silakan makan.
  7. Tamunya tidak menyangka kalau akan dilayani oleh tuan rumah dengan cepat dan dengan sajian terbaik.
  8. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam melayani tamunya dengan meletakkan makanan dan berusaha mendekatkan sajian kepada mereka, jadi bukan sekadar meletakkan saja.
  9. Ayat ini menunjukkan wajib melayani tamu disesuaikan dengan kebiasaan masing-masing tempat.

Semoga bermanfaat, hanya Allah yang memberi taufik.

 

Referensi:

  1. Al-Adzkar An-Nawawiyah. Cetakan pertama, Tahun 1422 H. Abu Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawi Ad-Dimasyqi, Penerbit Dar Ibnu Khuzaimah.
  2. Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid kedua.
  3. Rosysy Al-Barad Syarh Al-Adab Al-Mufrad. Muhammad Luqman As-Salafi. Penerbit Darud Da’i. Cetakan pertama, Tahun 1326 H.
  4. Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad.Cetakan kedua, Tahun 1425 H. Husain bin ‘Audah Al-‘Uwaisyah. Penerbit Al-Maktabah Al-Islamiyyah.
  5. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com