Sirah Nabi 9 – Kisah Tentara Bergajah

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
www.firanda.com

 

Kita sering mendengar bahwa Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan di tahun gajah. Disebut tahun gajah karena pada tahun tersebut terjadi peristiwa yang sangat besar yaitu pasukan bergajah dihancurkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Tentang kisah pasukan bergajah ini, diabadikan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya :

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ (1) أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ (2) وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ (3) تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ (4) فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ (5)

Artinya:

1. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?

  1. Bukankah Dia telah menjadikan makar mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia?
  2. dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berkelompok-kelompok
  3. yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,
  4. lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (QS Al-Fiil : 1-5)

Disebutkan oleh sejarawan bahwa Raja Najasyi -yang beragama Nashrani- tinggal di Habasyah (Ethiopia) dan memiliki seorang wakil yang bernama Abrahah yang ditugaskan di Yaman. Dari sini diketahui bahwasanya Abrahah adalah seorang Habasyi yang bermukim di Yaman. Abrahah ingin mencari muka kepada Najasyi dan kepada para pembesar Romawi. Raja Najasyi dikenal memiliki hubungan erat dengan Romawi, Karena Najasyi beragama Nashrani sedangkan pusat Kristiani berada di Romawi.

Abrahah berkeinginan membuat sebuah gereja yang sangat besar yang dapat memalingkan orang-orang Arab supaya tidak lagi berhaji ke Mekkah (Ka’bah), dan dipalingkan agar berhaji ke Shan’a (Yaman). Inilah tujuan dan tekad Abrahah ketika itu.

Karena rasa hasad dan iri saat melihat orang-orang Arab mengagungkan Ka’bah dengan cara berhaji dan berthawaf setiap tahun ke Ka’bah, maka diapun bertekad membangun sebuah gereja yang sangat besar yang dia namakan sebagai Al-Qullais. Al-Qullais disebutkan oleh sebagian ulama maknanya diambil dari qalansuah yang artinya peci. Mengapa dinamakan demikian? Kata sebagian ulama saking tingginya gereja itu sehingga jika ada seseorang yang menggunakan peci melihat puncak gereja tersebut maka  pecinya hampir jatuh. Abrahah berniat agar orang-orang meninggalkan ka’bah untuk menuju ke gereja yang dia bangun tersebut. Lalu iapun mengumumkan hal ini di negerinya. (lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/484)

Akhirnya niat busuk Abrahah terdengar sampai di Mekkah. Salah satu dari suku Kinanah (dari Quraisy) berjalan dari Arab menuju ke Shan’a, menuju ke gereja Abrahah. Saat tiba di geraja tersebut, dia buang air besar dan buang air kecil di situ, kemudian dia hambur-hamburkan kotorannya di dinding-dinding gereja.

Keesokan harinya, saat mengetahui gereja menjadi kotor dan yang melakukannya adalah orang Arab (orang Quraisy dari Kinanah), Abrahah pun murka kemudian menyiapkan pasukan yang sangat besar agar tidak ada yang mampu menghadangnya. Abrahah juga membawa seekor gajah yang sangat besar tubuhnya dan tidak pernah terlihat gajah sebesar itu. Gajah tersebut dipanggil dengan panggilan “Mahmud”. Disebutkan juga bahwa selain gajah Mahmud ada 8 ekor gajah yang lain, ada juga yang mengatakan 12 gajah yang lain. Tujuan Abrahah membawa banyak ekor gajah adalah untuk menghancurkan ka’bah dengan cara mencungkilnya sekali cungkil. Dengan menyiapkan rantai-rantai besi yang diikatkan ke leher gajah-gajah tersebut lalu rantai tersebut diikatkan ke sudut-sudut ka’bah kemudian gajah-gajah tersebut beramai-ramai mencungkil ka’bah.

Tatkala bangsa Arab mendengar kedatangan Abrahah, mereka pun mengadakan perlawanan. Namun kabilah-kabilah Arab pada saat itu tidak bersatu, sehingga tidak ada yang bisa mengalahkan Abrahah. Terlebih lagi, Abrahah membawa pasukan dalam jumlah yang besar disertai hewan gajah yang sangat besar. Sementara orang-orang Arab belum pernah melihat gajah. Hal ini semakin menimbulkan ketakutan di hati orang-orang Arab.

Kabilah Arab yang paling masyhur dan terkenal serta dimuliakan pada saat itu adalah bangsa Quraisy, namun mereka juga tidak melakukan perlawanan sama sekali. Ketika Abrahah tiba di suatu tempat yang disebut dengan Mughammas, datanglah ‘Abdul Muththalib (kakek Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan pemimpin Quraisy saat itu) untuk bertemu dengan Abrahah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/484-485)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

“Tatkala Abrahah melihat Abdul Muttholib dia pun memuliakannya. Abdul Muttholib adalah seorang yang tampan dan berpenampilan indah. Abrahah kemudian turun dari singgasananya (karena menghormati Abdul Muttholib –pent) lalu duduk bersama Abdul Muttholib di karpet. Abrahah berkata kepada penerjemahnya, “Tanyakan kepadanya, apa keperluannya?” Abdul Muttholib berkata kepada si penerjemah, “Keperluanku adalah agar sang raja Abrahah mengembalikan kepadaku 200 ekor ontaku yang diambil oleh sang raja”. Maka Abrahah berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepada Abdul Muttholib, sungguh tadinya engkau membuatku kagum tatkala melihatmu, namun aku menjadi menyepelekanmu ketika engkau berbicara denganku (mengenai onta tadi -pent). Apakah engkau berbicara denganku mengenai 200 ekor ontamu yang aku ambil agar aku mengembalikannya padamu, lalu engkau membiarkan ka’bah yang merupakan agamamu dan agama nenek moyangmu, sementara aku datang untuk menghancurkannya, lantas engkau tidak berbicara kepadaku tentang ka’bah?”

Maka Abdul Muttholib berkata kepada Abrahah :

إِنِّي أَنَا رَبُّ الْإِبِلِ، وَإِنَّ لِلْبَيْتِ رِبًّا سَيَمْنَعُهُ

“Sesungguhnya aku adalah pemilik onta, dan sesungguhnya ka’bah punya pemilik sendiri yang akan membelanya”

Abrahah berkata,

مَا كَانَ لِيَمْتَنِعَ مِنِّي

“Dia tidak akan bisa mencegahku (untuk menghancurkan ka’bah)”

Abdul Muttholib kemudian berkata, أَنْتَ وَذَاكَ  “Itu urusanmu denganNya.”  (Tafsir Ibnu Katsir 8/485)

Kisah pertemuan Abdul Muthhalib dengan Abrahah juga dinukil oleh Al-Hākim dalam Al-Mustadrāk dan dishahihkan oleh Al-Hākim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata:

أَقْبَلَ أَصْحَابُ الْفِيلِ حَتَّى إِذَا دَنَوْا مِنْ مَكَّةَ اسْتَقْبَلَهُمْ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ لِمَلِكِهِمْ: مَا جَاءَ بِكَ إِلَيْنَا مَا عَنَاكَ يَا رَبَّنَا أَلَا بَعَثْتَ فَنَأْتِيكَ بِكُلِّ شَيْءٍ أَرَدْتَ؟ ” فَقَالَ: أُخْبِرْتُ بِهَذَا الْبَيْتِ الَّذِي لَا يَدْخُلُهُ أَحَدٌ إِلَّا آمَنَ فَجِئْتُ أُخِيفُ أَهْلَهُ. فَقَالَ: إِنَّا نَأْتِيكَ بِكُلِّ شَيْءٍ تُرِيدُ فَارْجِعْ” فَأَبَى إِلَّا أَنْ يَدْخُلَهُ

“Pasukan bergajah pun datang. Ketika mereka mulai mendekati Mekkah, maka datanglah ‘Abdul Muththalib, kakek Nabi ﷺ menemui pasukan tersebut. ‘Abdul Muthalib berkata kepada pemimpin mereka (yaitu Abrahah): “Untuk apa engkau datang kepada kami? Tidak cukupkah engkau mengirim utusanmu sehingga kami akan membawakan kepadamu semua yang kau inginkan?”

Abrahah (dengan sombongnya –pent) berkata, “Aku dikabarkan tentang ka’bah (kota Mekah) yang tidak seorangpun memasukinya kecuali dalam keadaan aman. Maka aku datang ke mari untuk memberi ketakutan kepada penduduknya.”

Abdul Muthhalib berkata, “Kami akan memberikan semua yang kau inginkan, kembalilah engkau !”. Akan tetapi Abrahah tetap bersikeras untuk masuk Mekah (menuju ka’bah).  (HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok no 3974)

Dalam riwayat yang lain Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata;

فَأَتَاهُمْ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ إِنَّ هَذَا بَيْتُ اللَّهِ لَمْ يُسَلِّطْ عَلَيْهِ أَحَدًا قَالُوا لَا نَرْجِعُ حَتَّى نَهْدِمَهُ فَكَانُوا لَا يُقَدِّمُونَ فِيلَهُمْ إِلَّا تَأَخَّرَ فَدَعَا اللَّهُ الطَّيْرَ الْأَبَابِيلَ فَأَعْطَاهَا حِجَارَةً سَوْدَاءَ فَلَمَّا حَاذَتْهُمْ رَمَتْهُمْ فَمَا بَقِيَ مِنْهُمْ أَحَدٌ إِلَّا أَخَذَتْهُ الْحَكَّةُ فَكَانَ لَا يَحُكُّ أَحَدٌ مِنْهُمْ جِلْدَهُ إِلَّا تَسَاقَطَ لَحْمُهُ

Abdul Muttholib mendatangi mereka dan berkata, “Sesungguhnya ini adalah rumah Allah. Allah tidak akan menyerahkannya kepada seorangpun untuk menguasai nya (menghancurkannya).” Mereka berkata, “Kami tidak akan kembali hingga kami menghancurkannya.” Maka tidaklah mereka memerintahkan gajah mereka untuk maju kecuali gajah tersebut mundur. Allah kemudian memanggil burung-burung dengan berbondong-bondong, lalu Allah memberikan batu berwarna hitam kepada burung-burung tersebut. Tatkala burung-burung itu telah sejajar dengan mereka maka burung-burung itu melemparkan batu tersebut kepada mereka. Sehingga tidak tersisa seorang pun dari mereka kecuali mengalami rasa gatal (yang luar biasa-pent). Tidaklah seorangpun dari mereka yang menggaruk kulitnya kecuali dagingnya berjatuhan.” (Disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 12/207 dan beliau menilai sanadnya hasan)

Dalam riwayat yang lain dari Ikrimah, beliau berkata:

أَنَّهَا كَانَتْ طَيْرًا خُضْرًا خَرَجَتْ من الْبَحْر لَهَا رُؤُوس كَرُءُوسِ السِّبَاعِ

“Burung-burung tersebut berwarna hijau, muncul dari laut, kepalanya seperti kepala binatang buas.” (Disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 12/207 dan beliau menilai sanadnya shahih)

Pasukan Abrahah yang terkena lemparan batu tidak semuanya tewas seketika. Sebagian mereka tewas dengan cepat, sebagian lagi kabur dalam kondisi terputus-putus dan terlepas-lepas anggota tubuhnya hingga tewas. Adapun Abrahah, dia tidak tewas seketika namun dia termasuk yang kabur melarikan diri. Allah tidak menjadikannya langsung tewas karena Allah ingin menyiksanya. Ada yang mengatakan bahwa dia tewas di negeri Khots’am. Ada pula yang berpendapat bahwa dia berhasil kembali ke Shan’a dan mati disana. Namun selama dalam perjalanan kaburnya, badannya terlepas sedikit demi sedikit dari tubuhnya sampai akhirnya di Shan’a dadanya terbelah dan jantungnya keluar, Allāh menyiksanya dan tidak langsung mematikannya. Demikianlah kisah Abrahah dengan pasukan tentara bergajahnya yang dihancurkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/486)

Di tahun itu pula, lahirlah Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam, sebagian menyebutkan bahwa kelahirannya sekitar 50 hari setelah tragedi pasukan bergajah.

Kisah ini adalah kisah yang nyata, tidak sebagaimana klaim orang-orang Nashara yang berusaha mengingkari kisah ini. Kita dapati ada sebagian penulis dari orientalis yang mengatakan bahwa ini hanyalah dongeng yang disebutkan Allāh dalam Al-Qurān, tidak mungkin ada kisah tentara bergajah yang dihancurkan oleh burung-burung dengan cara melemparinya dengan batu. Klaim mereka dibantah oleh para ulama, bahwa kisah ini bukanlah dongeng semata. Diantara buktinya adalah peninggalan syair-syair jahiliyyah yang sebagiannya banyak menyebutkan tentang kisah pasukan bergajah ini, yang disaksikan langsung oleh mereka, dan syair-syair di zaman jahiliyyah tersebut masih ada sampai sekarang. Dan juga diantara bukti yang menunjukkan akan kebenaran kisah ini adalah sebagaimana yang sering tercantum di dalam buku-buku sejarah yang menyebutkan bahwa si fulan lahir pada tahun ke sekian sebelum tahun gajah atau setelah tahun gajah. Sehingga tahun gajah sering dijadikan sebagai istilah penanggalan. Seandainya kisah ini hanyalah dongeng belaka, maka tidak mungkin tahun gajah dijadikan sebagai suatu istilah penanggalan.

Menurut orang-orang Nasrani, Abrahah tidak berniat ke Mekkah untuk menghancurkan Ka’bah atau karena hasad dengan Ka’bah. Namun dia berangkat dari Yaman dalam rangka berperang dengan bangsa Persia, dimana saat itu terjadi peperangan antara Persia dan Romawi. Dalam perjalanannya, Abrahah memutuskan mengambil jalan darat melewati Mekkah. Klaim ini juga tidak benar. Karena jika Abrahah benar-benar ingin menyerang Persia, maka dia akan mengambil jalan laut yang lebih mudah dan lebih dekat.

Disebutkan pula oleh Ibnu Hisyām, dengan sanad yang hasan, ‘Āisyah menceritakan bahwa dia melihat pemimpin gajah dan pawangnya masih hidup dalam kondisi buta meminta-minta makanan di Mekah (lihat As-Shiroh An-Nabawiyah As-Shahihah 1/98). Pasukan Abrahah tidak semuanya mati, masih ada yang hidup, namun dalam keadaan buta dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

Ini menunjukkan bahwa kisah ini real dan terjadi di tahun dilahirkannya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Menurut para ulama, peristiwa tahun gajah ini sebenarnya merupakan pendahuluan akan mu’jizat yang sangat besar, yaitu lahirnya Nabi Muhammad ﷺ. Hancurnya tentara bergajah ini menjadikan bangsa Quraisy semakin mulia, karena mereka tidak perlu melakukan perlawanan sama sekali, namun Allāh lah yang membela mereka. Sebenarnya, ketika Abrahah berjalan dari Shan’a menuju ke Makkah telah banyak kabilah yang mencoba melakukan perlawanan, tetapi mereka takluk semuanya kemudian harta mereka dirampas oleh Abrahah. Namun ketika Abrahah tiba di pusat Quraisy, orang-orang Quraisy tidak melakukan perlawanan tetapi Allāh Subhānahu wa Ta’āla sendiri yang membela mereka.

Demikianlah, akhirnya mulai tersebar saat itu bahwa orang-orang Quraisy adalah orang-orang mulia. Karena Tuhan Pencipta alam semesta yang langsung membela mereka sehingga mereka tidak perlu melakukan perlawanan sama sekali. Hal ini mengangkat kedudukan orang-orang Quraisy, dan diantara mereka terdapat kakeknya Nabi ﷺ, yaitu ‘Abdul Muthalib. Dengan terangkatnya kedudukan Quraisy ini, maka kedudukan Nabi ﷺ juga terangkat karena Nabi dilahirkan dari suku Quraisy. Seakan-akan Quraisy menjadi pusat segala kabilah atau kabilah induk, yang membawahi semua kabilah-kabilah saat itu. Dan Nabi dilahirkan dari kabilah induk dan bukan dari sembarang nasab, tidak seperti anggapan sebagian orang bahwa saat seseorang disepelekan atau direndahkan maka orang tersebut cenderung akan membuat pemikiran baru, atau jika berasal dari kalangan rendahan maka akan dikatakan bahwa orang ini mengaku sebagai Nabi hanya untuk mencari kekuasaan. Namun semua anggapan dan asumsi ini terpatahkan, sebab Nabi ﷺ lahir dari kabilah yang terkenal dan dimuliakan. Seandainya Nabi hanya mencari kekuasaan tentu ini adalah hal yang sangat mudah, beliau hanya tinggal mengikuti tradisi kesyirikan nenek moyangnya maka otomatis beliau akan menjadi pemimpin Quraisy. Akan tetapi justru beliau menyelisihi dan meninggalkan tradisi nenek moyangnya.

Oleh karena itu, menurut para ulama, kejadian dihancurkannya tentara bergajah ini adalah dalam rangka untuk mengangkat derajat Nabi. Adapun Quraisy hanya sekedar wasilah (sarana) terangkatnya Nabi ﷺ.

Manakah yang lebih buruk antara penyembah berhala atau orang-orang musyrikin Nashara? Jelas yang lebih buruk adalah penyembah berhala. Orang-orang Nashara masih disebut Ahli kitab, adapun penyembah berhala mereka lebih sesat karena menyembah berhala yang lebih banyak. Namun Allāh saat itu memenangkan para penyembah berhala musyrikin Quraisy atas orang-orang Nashara. Allāh menghancurkan orang-orang Nashara karena ada Nabi ﷺ yang akan lahir dari orang-orang Quraisy tersebut. Oleh karena itu, kejadian tersebut termasuk mu’jizat kelahiran Nabi ﷺ, yang terjadi di tahun dimana Nabi ﷺ lahir. Pamor bangsa Quraisy menjadi naik lantaran dibela langsung oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Dan diantara hikmahnya pula, kelak orang-orang Quraisy lah yang masuk Islam, yang membuat kabilah-kabilah dibawahnya akan turut masuk Islam.

Saat Fathu Makkah, ketika Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam hendak menaklukkan kota Mekkah, banyak kabilah-kabilah Arab yang sebelumnya tidak mau masuk Islam. Mereka berkata “Kita tunggu dulu, biar Muhammad berperang dengan orang-orang Quraisy, kalau ternyata orang-orang Quraisy yang menang maka hubungan kita masih baik, namun jika Qurasiy kalah maka kita akan masuk Islam.” Dan benar lah tatkala Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam menaklukkan kota Mekkah, orang-orang Quraisy semua tunduk kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Sehingga orang-orang Arab dari kabilah yang lebih rendah secara otomatis juga ikut masuk Islam.

Faidah-Faidah yang dipetik dari kisah Abrahah dan dihancurkannya tentara bergajah oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla,

⑴ Sehebat dan sekuat apapun seseorang niscaya ada yang lebih hebat dan lebih kuat lagi.

Abrahah dengan sombongnya membawa pasukan bergajah beserta ribuan pasukan lainnya, namun akhirnya hancur lebur dihantam pasukan Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang berupa burung-burung kecil yang berbondong-bondong. Telah berlalu sebagaimana yang diceritakan dalam sejarah bagaimana negara-negara adidaya yang kuat akhirnya hancur lebur. Kemana Persia sekarang? Kemana Romawi sekarang? Dahulu mereka menguasai dunia. Kemana kaum ‘Ād yang begitu sombong? Yang mana mereka mengatakan “Siapa yang lebih kuat dari kita?” tetapi mereka dihancurkan oleh Allāh. Kemana Fir’aun? Fir’aun yang begitu sombongnya, menyiksa Bani Isrāil puluhan tahun sejak lahirnya Nabi Mūsa sampai Nabi Mūsa kembali lagi berdakwah (sekitar 40 atau 50 tahun), namun akhirnya Allāh pun menghancurkannya. Kemana Qarun yang sombong dengan hartanya? Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan yang dibangun di atas kebathilan, tidak akan jaya selama-lamanya. Suatu saat Allāh akan menghancurkan mereka dengan cara-Nya, seperti orang-orang Abrahah yang dihancurkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

⑵ Kondisi orang-orang Arab sebelum Islam adalah berupa kabilah-kabilah (suku-suku) yang tercerai berai. Mereka tidak mampu berhadapan dengan Abrahah, padahal mereka berkumpul dalam satu asal bangsa yaitu Arab. Selain itu mereka juga sama-sama mengagungkan Ka’bah. Tetapi karena mereka tidak di atas suatu ikatan Aqidah maka akhirnya mereka berhasil dikalahkan.

Orang-orang Arab menjadi mulia karena Islam, bukan Karena Arab-nya. Para ulama telah banyak membantah pemikiran yang disebut dengan Qaumiyyah (fanatik kebangsaan), yaitu fanatisme yang dibangun di atas sentimen golongan Arab, dengan slogan “semua harus kembali kepada Arab” atau “hanya Arab saja yang Berjaya”. Syaikh bin Bāz rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya seruan kepada fanatik kebangsaan Arab merupakan bentuk perbuatan buruk terhadap Islam dan peperangan melawan Islam, dan juga merupakan bentuk keburukan kepada Arab itu sendiri. Karena seruan ini hakikatnya ingin memisahkan antara Arab dan Islam, padahal Islam adalah puncak kejayaan Arab dan kemuliaan Arab. Islam merupakan sumber kejayaan Arab dan kepemimpinan Arab di dunia. Bagaimana bisa seorang Arab yang berakal, ridha dengan propaganda yang demikian hakekat dan tujuannya?” (lihat Naqdul Qoumiyah al-‘Arobiyah hal 58)

Sesungguhnya Islam lah yang telah memuliakan Arab. Andai saja tidak ada Islam maka Arab tidak akan mulia, bahkan Arab akan menadi rendah sebagaimana yang lainnya. Tapi melalui Islam lah, Arab menjadi mulia. Sehingga siapa saja yang berpegang teguh kepada agama Islam -Arab atau selain Arab- niscaya Allāh akan memuliakannya.

 

Jakarta, 29-01-1439 H / 19-10-2017 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
www.firanda.com