BAB 5

بَابُ الدُّعَاءِ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

DAKWAH KEPADA SYAHADAT  “LA ILAHA ILLALLAH ([1])

Oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc, M.A.
Sumber www.Firanda.com

 

Firman Allah Subnahu wa Ta’ala :

قُلْ هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّـهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّـهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: ”inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, aku berdakwah kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf: 108). ([2])

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda kepadanya:

(( إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ – وفي رواية: إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ- فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ ))

“Sungguh kamu akan mendatangi orang-orang ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) maka hendaklah pertama kali yang harus kamu sampaikan  kepada mereka adalah syahadat La Ilaha Illallah –dalam riwayat yang lain disebutkan: “supaya mereka mentauhidkan Allah”- jika mereka mematuhi apa yang kamu dakwahkan, maka sampaikan kepada  mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, jika mereka telah mematuhi apa yang telah kamu sampaikan, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat, yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang-orang yang fakir. Dan jika mereka telah mematuhi apa yang kamu sampaikan, maka jauhkanlah dirimu dari harta pilihan mereka, dan takutlah kamu dari doanya orang-orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doanya dan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). ([3])

Dalam hadits yang lain, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d  radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat perang Khaibar bersabda:

(( لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يًحِبُّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ، وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ، يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ، فَبَاتَ النَّاسُ يَدُوْكُوْنَ لَيْلَتَهُمْ أَيُّهُمْ يُعْطَاهَا، فَلَمَّا أَصْبَحُوْا غَدَوْا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ r كُلُّهُمْ يَرْجُوْنَ أَنْ يُعْطَاهَا، فَقَالَ: (( أَيْنَ عَلِيٌّ بْنُ أَبِيْ طَالِبٍ؟ فَقِيْلَ: هُوَ يَشْتَكِي عَيْنَيْهِ، فَأَرْسَلُوْا إِلَيْهِ فَأُتِيَ بِهِ، فَبَصَقَ فِيْ عَيْنَيْهِ وَدَعَا لَهُ، فَبَرَأَ كَأَنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ وَجَعٌ، فَأَعْطَاهُ الرَّايَةَ، فَقَالَ: (( انْفُذْ عَلَى رِسْلِكَ حَتَّى تَنْـِزلَ بِسَاحَتِهِمْ، ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ، وَأَخْبِرْهُمْ بِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ تَعَالَى فِيْهِ، فَوَاللهِ لأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمُرِ النَّعَمِ )) يَدُوْكُوْنَ أي يَخُوْضُوْنَ.

 “Sungguh akan aku serahkan bendera (komando perang) ini besok pagi kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan dia dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, Allah akan memberikan kemenangan dengan sebab kedua tangannya”, maka semalam suntuk para sahabat memperbincangkan siapakah di antara mereka yang akan diserahi bendera itu, di pagi harinya mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing berharap agar ia yang diserahi bendera tersebut, maka saat itu Rasul bertanya: “di mana Ali bin Abi Thalib? Mereka menjawab: “dia sedang sakit pada kedua matanya, kemudian mereka mengutus orang untuk memanggilnya, dan datanglah ia, kemudian Rasul meludahi kedua matanya, seketika itu dia sembuh seperti tidak pernah terkena penyakit, kemudian Rasul menyerahkan bendera itu kepadanya dan bersabda: “melangkahlah engkau ke depan dengan tenang hingga engkau sampai di tempat mereka, kemudian ajaklah mereka kepada Islam, dan sampaikanlah kepada  mereka akan hak-hak Allah dalam Islam, maka demi Allah, sungguh Allah memberi hidayah kepada seseorang dengan sebab kamu itu lebih baik dari unta-unta yang merah([4]).” ([5]).

Kandungan bab ini:

  1. Dakwah kepada “La Ilaha Illallah” adalah jalannya orang-orang yang setia mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Peringatan akan pentingnya ikhlas [dalam berdakwah semata-mata karena Allah], sebab kebanyakan orang kalau mengajak kepada kebenaran, justru mereka mengajak kepada [kepentingan] dirinya sendiri.
  3. Mengerti betul akan apa yang didakwahkan adalah termasuk kewajiban.
  4. Termasuk bukti kebaikan tauhid, bahwa tauhid itu mengagungkan Allah.
  5. Bukti kejelekan syirik, bahwa syirik itu merendahkan Allah.
  6. Termasuk hal yang sangat penting adalah menjauhkan orang Islam dari lingkungan orang orang musyrik, agar tidak menjadi seperti mereka, walaupun dia belum melakukan perbuatan syirik.
  7. Tauhid adalah kewajiban pertama.
  8. Tauhid adalah yang harus didakwahkan pertama kali sebelum mendakwahkan kewajiban yang lain termasuk shalat.
  9. Pengertian “supaya mereka mentauhidkan Allah” adalah pengertian syahadat.
  10. Seseorang terkadang termasuk ahli kitab, tapi ia tidak tahu pengertian syahadat yang sebenarnya, atau ia memahami namun tidak mengamalkannya.
  11. Peringatan akan pentingnya sistem pengajaran dengan bertahap.
  12. Yaitu dengan diawali dari hal yang sangat penting kemudian yang penting dan begitu seterusnya.
  13. Salah satu sasaran pembagian zakat adalah orang fakir.
  14. Kewajiban orang yang berilmu adalah menjelaskan tentang sesuatu yang masih diragukan oleh orang yang belajar.
  15. Dilarang mengambil harta yang terbaik dalam penarikan zakat.
  16. Menjaga diri dari berbuat dzalim terhadap seseorang.
  17. Pemberitahuan bahwa do’a orang yang teraniaya itu dikabulkan.
  18. Di antara bukti tauhid adalah ujian yang dialami oleh Rasulullah r dan para sahabat, seperti kesulitan, kelaparan maupun wabah penyakit.
  19. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Demi Allah akan aku serahkan bendera …” adalah salah satu dari tanda-tanda kenabian beliau.
  20. Kesembuhan kedua mata Ali, setelah diludahi Rasulullah adalah salah satu dari tanda-tanda kenabian beliau.
  21. Keutamaan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
  22. Keutamaan para sahabat Rasul, [karena hasrat mereka yang besar sekali dalam kebaikan dan sikap mereka yang senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan amal shaleh] ini dapat dilihat dari perbincangan mereka di malam [menjelang perang Khaibar, tentang siapakah di antara mereka yang akan diserahi bendera komando perang, masing-masing mereka menginginkan agar dirinyalah yang menjadi orang yang memperoleh kehormatan itu].
  23. Kewajiban mengimani takdir Allah, karena bendera tidak diserahkan kepada orang yang sudah berusaha, malah diserahkan kepada orang yang tidak berusaha untuk memperolehnya.
  24. Adab di dalam berjihad, sebagaimana yang terkandung dalam sabda Rasul: “berangkatlah engkau dengan tenang”.
  25. Disyariatkan untuk mendakwahi musuh sebelum memeranginya.
  26. Syariat ini berlaku pula terhadap mereka yang sudah pernah didakwahi dan diperangi sebelumnya.
  27. Dakwah harus dilaksanakan dengan bijaksana, sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Nabi: “… dan sampaikanlah kepada mereka tentang hak-hak Allah dalam Islam yang harus dilakukan”.
  28. Wajib mengenal hak-hak Allah dalam Islam ([6]).
  29. Kemuliaan dakwah, dan besarnya pahala bagi orang yang bisa memasukkan seorang saja ke dalam Islam.
  30. Diperbolehkan bersumpah dalam menyampaikan petunjuk.

KETERANGAN (FOOTNOTE):

([1] ) Tertib bab-bab yang disebutkan oleh penulis adalah tertib yang sangat baik. Setelah seseorang memahami akan kewajiban bertauhid, lalu memahami keutamaan tauhid, lalu mengerti akan bahaya kesyirikan, setelah ia memahami tauhid untuk dirinya, maka tidak sempurna imannya dan tauhidnya kecuali setelah ia mendakwahkan tauhid kepada orang lain. Allah berfirman :

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

Demi masa.Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Al-‘Ashr : 1-3)

Jika seseorang mengerti akan tauhid namun ia tidak mendakwahkanya maka tauhidnya kurang dan tidak sempurna.

Dakwah secara umum adalah amalan yang sangat mulia, bahkan merupakan jihad fi sabilillah. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwasanya jihad dengan pedang dan senjata merupakan sarana untuk dakwah, karena asalnya adalah dakwah yang merupakan pekerjaan seluruh nabi, dan diantara sarana dakwah adalah jihad dengan pedang. Karenanya dakwah dengan ilmu merupakan jihad. Allah berfirman :

فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (52)

Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar. (QS. Al-Furqon : 52)

Karenanya pendapat yang kuat di kalangan para ulama bahwasanya harta zakat boleh dikeluarkan untuk kepentingan dakwah karena ia termasuk dari jihad fi sabilillah.

Diantara keistimewaan dakwah salafiyah dibandingkan dengan gerakan-gerakan dakwah yang lain adalah dakwah salafiyah menyeru umat kepada tauhid dan menjelaskan tauhid secara detail, demikian juga tatkala menjelaskan tentang kesyirikan maka penjelasannya secara detail. Dan hal ini tidak akan didapatkan pada kebanyakan gerakan-gerakan dakwah yang ada sekarang. Kebanyakan mereka tatkala berdakwah kepada tauhid maka hanya secara global, atau pembahasannya seputar tauhid ar-Rububiyah saja. Bahkan banyak dari gerakan-gerakan dakwah yang memandang bahwa bergelut dengan dakwah tauhid adalah sumber perpecahan dan hanya memundurkan umat Islam. Kita bisa bayangkan kalau tidak ada da’i-da’i salafiyin yang vokal dalam menyerukan tauhid dan tegas dalam masalah kesyirikan maka sudah tentu kesyirikan akan menjadi subur dan berkembang di alam semesta ini.

Pada bab ini penulis menyebutkan tiga dalil

([2] ) Dalil Pertama : Sisi pendalilannya bahwa jalan yang ditempuh oleh Nabi adalah (Aku menyeru kepada Allah di atas ilmu). Bahkan ini bukan hanya jalan Nabi, akan tetapi seluruh pengikut Nabi menempuh jalan ini. Karenanya dalam ayat (Aku dan orang-orang yang mengikutiku). Maka orang yang mengaku sebagai pengikut Nabi ia harus mendakwahkan tauhid karena berdakwah kepada tauhid merupakan ciri para pengikut Nabi. Hal ini menguatkan bahwa dakwah tauhid bagi yang mengerti akan tauhid adalah fardu ‘ain dan bukan fardu kifayah. Akan tetapi meskipun fardu ‘ain akan tetapi pelaksanaannya sesuai dengan kemampuan.

Adapun isi dakwah kepada Allah adalah berlepas diri dari kesyirikan dan kaum musyrikin, karenanya dalam ayat di atas (Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik)

Firman Allah : قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِي (Katakanlah ini adalah jalanku)

Yaitu سُنَّتِي وَمِنْهَاجِي “Sunnahku dan manhajku/metodeku” (Ini merupakan tafsiran Ibnu Zaid sebagaimana dinukil oleh At-Thobari dalam tafsirnya 13/379, dan lihat juga Tafsir al-Baghowi 4/284)

At-Thabari berkata

{قُلْ} يَا مُحَمَّدُ {هَذِهِ} الدَّعْوَةُ الَّتِي أَدْعُو إِلَيْهَا، وَالطَّرِيقَةُ الَّتِي أَنَا عَلَيْهَا مِنَ الدُّعَاءِ إِلَى تَوْحِيدِ اللَّهِ وَإِخْلَاصِ الْعِبَادَةِ لَهُ دُونَ الْآلِهَةِ وَالْأَوْثَانِ

“Katakanlah Wahai Muhammad : dakwah ini yang aku menyeru kepadanya dan jalan yang aku di atasnya, yaitu berupa menyeru kepada pentauhidan kepada Allah dan pengikhlasan ibadah hanya kepadaNya bukan kepada tuhan-tuhan yang banyak dan berhala-berhala” (Tafsir At-Thabari 13/378)

Hal ini menunjukkan bahwa seseorang berusaha mencontohi Nabi dalam metode dakwah yaitu mendahulukan dan perhatian terhadap dakwah tauhid, sebagaimana metode dakwah Nabi, yaitu dakwah kepada Allah. Karena mencontohi Nabi bukan hanya saja pada shalat atau haji tapi juga dalam dakwah. Jadi ayat ini قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِي (Katakanlah ini adalah jalanku) sama seperti sabda Nabi صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي (Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat) dan خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ  (Ambilah dariku tata cara manasik haji kalian)

Firman Allah أَدْعُو إِلَى اللهِ (Aku menyeru kepada Allah). At-Thabari berkata : {أَدْعُو إِلَى اللَّهِ} وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ(Aku berdakwah kepada Allah semata tiada sekutu bagiNya) (Tafsir At-Thabari 13/378). Penulis berkata tentang ayat ini :

التَّنْبِيْهُ إِلَى الإِخْلاَصِ لِأَنَّ كَثِيْرًا وَلَوْ دَعَا إِلَى الْحَقِّ فَهُوَ يَدْعُو إِلَى نَفْسِهِ

“Peringatan untuk ikhlas, karena banyak orang meskipun berdakwah kepada kebaikan akan tetapi mereka menyeru kepada diri mereka”.

Karena banyak orang yang ternyata berdakwah bukan kepada Allah tapi kepada dirinya sendiri, atau kepada yayasannya, atau kepada masjidnya, atau organisasinya, dll. Sehingga mereka menjadikan al-walaa’ wa al-bara’ (loyal dan kebencian) dibangun di atas organisasi mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak berdakwah kepada Allah akan tetapi kepada selain Allah. Organisasi tidak mereka jadikan wasilah tapi dijadikan tujuan. Padahal yang mereka serukan adalah kebenaran (al-haq), namun kebenaran tersebut masih tercampur dengan keinginginan-keinginan jiwa, seperti ingin dipuji, disanjung, dinomer satukan, paling didengar, diterima dakwahnya karena dirinya, dan lain sebagainya.  Seorang da’i yang ikhlas cita-citanya adalah bagaimana agar manusia sampai kepada Allah, apakah melalui lisannya ataukah melalui lisan orang lain. Jika dakwah sampai kepada orang lain meskipun melalui orang lain maka ia ikut berbahagia maka ini menunjukkan bahwa ia menyeru kepada Allah. Akan tetapi jika dia mempersyaratkan kebenaran harus melalui lisannya, dan ia juga tidak ikut bahagia tatkala dakwah sampai melalui lisan da’i yang lain, maka ini menunjukkan bahwa ia tidak menyeru kepada Allah tapi menyeru kepada dirinya sendiri.

Firman Allah عَلَى بَصِيْرَةٍ (di atas ilmu)  menunjukkan bahwa dakwah harus dibangun di atas bashiroh (ilmu dan keyakinan). Akan tetapi bashiroh bertingkat-tingkat, tentunya bukan maksudnya seorang harus di atas bashiroh tertinggi yang dimiliki oleh para ulama. Karena jika perkaranya harus demikian maka hanya sedikit yang bisa berdakwah. Akan tetapi siapa saja bisa berdakwah namun harus di atas ilmu, tidak boleh ia mendakwahkan lebih dari ilmu yang ia miliki. Contoh, untuk mengajak orang shalat, hadir dalam pengajian, untuk berakhlak mulia, berbakti kepada orang tua, maka siapa saja bisa melakukannya, karena ilmunya jelas dan mudah. Akan tetapi kalau sudah masuk dalam pembahasan fikih terlebih lagi yang detail maka tidak semua orang boleh berdakwah.

Firman Allah أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي (Aku dan orang-orang yang mengikutiku), merupakan pujian terhadap pengikut Nabi, karena mereka berdakwah di jalan Allah dan ikhlas karena Allah. Dan pujian ini tertuju pertama kali kepada para pengikut Nabi yang pertama yaitu para sahabat Nabi. Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini dengan berkata :

يَعْنِي أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانُوا عَلَى أَحْسَنِ طَرِيقَةٍ وَأَقْصَدِ هِدَايَةٍ، مَعْدِنَ الْعِلْمِ، وَكَنْزَ الْإِيمَانِ وَجُنْدَ الرَّحْمَنِ

“Yaitu para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berada di atas jalan yang terbaik, di atas hidayah yang paling membatasi diri (dengan petunjuk Nabi), sumber ilmu, gudang keimanan, dan tentara Allah” (Tafsir al-Baghowi 4/285)

Ayat ini juga menunjukkan bahwa konsentrasi dakwah Nabi -dan juga para pengikutnya- adalah membenahi aqidah. Adapun yang sering disebutkan bahwa Nabi tatkala di Mekah selama 13 tahun mendakwahkan aqidah dan setelah sampai di Madinah maka Nabi mendakwahkan syari’at, maka pernyataan ini kurang tepat. Karena di Madinah pun Nabi tetap konsen dengan aqidah hanya saja diriringi dengan banyak syari’at yang lain. Oleh karenanya tatkala Nabi sakit dan hendak meninggal beliau berkata, “Allah melaknat Yahudi dan Nashoro, mereka telah menjadikan kuburan-kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid”.

([3] ) Dalil Kedua : Sisi pendalilannya  Nabi memerintahkan Muadz untuk menjadikan dakwah yang paling pertama adalah dakwah tauhid. Oleh karenanya para ulama berdalil dengan hadits ini untuk menunjukkan bahwa التَّوْحِيْدُ هُوَ أَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَى الْمُكَلَّفِ (perkara pertama yang wajib bagi mukallaf adalah tauhid). Ini membantah pendapat para ahlul bid’ah (dari kalangan ahlul kalam mu’tazilah dan asya’iroh) bahwasanya kewajiban yang pertama adalah nadzor (pengamatan secara akal) untuk menetapkan adanya pencipta. Karena pengakuan tentang adanya pencipta sudah terfitroh dalam sanubari manusia.

Hadits ini juga menunjukkan kemuliaan Mu’adz dan luasnya ilmu beliau. Karena Nabi hanya mengutus dua sahabat ke Yaman, Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa al-‘Asy’ari ke daerah yang berbeda di Yaman. Ini menunjukkan dakwah lebih mengutamakan ilmu dibandingkan banyaknya personil yang berdakwah namun tidak di atas ilmu. Selain itu pula hadits ini menunjukkan bantahan terhadap kaum syi’ah yang berkembang di negeri Yaman yang mereka mengkafirkan para sahabat -diantaranya Mu’adz bin Jabal- sementara mereka bisa mengenal Islam karena sebab Mu’adz bin Jabal. Dimanakah rasa terima kasih mereka??

Para ulama berselisih kapankah Nabi mengutus Mu’adz ke negeri Yaman? Ada yang mengatakan pada tahun ke 8 Hijriyah di tahun fathu Makkah, ada yang mengatakan tahun 9 Hijriyah tatkala Nabi balik dari perang Tabuk, dan ada yang mengatakan di tahun ke 10 Hijriyah. Namun mereka sepakat bahwa Mu’adz tidaklah pulang ke Madinah kecuali di masa pemerintahan Abu Bakar (setelah wafatnya Nabi). Setelah itu beliau pergi ke negeri Syam, dan wafat di sana.

Ini menunjukkan perhatian Nabi tetap kepada tauhid meskipun di akhir-akhir hidup beliau, dan juga perhatian Nabi untuk mendakwahi non muslim kepada Islam. Karena mengenal Islam bukan hanya untuk orang Islam, bahkan Nabi mengeluarkan seluruh upaya beliau untuk mendakwahi non muslim, sampai-sampai Nabi mengirim surat kepada raja-raja non muslim.

Hadits ini menujukan tentang kaidah-kaidah penting dalam dakwah, diantaranya ;

Pertama : Nabi mengingatkan Mu’adz bahwa yang akan didatangi oleh beliau adalah ahlul kitab baik Yahudi maupun Nashoro, karena merekalah yang banyak tinggal di Yaman, meskipun bisa jadi ada penyembah berhala namun tidak banyak.

Ini mengisyaratkan bahwa Mu’adz harus bersiap-siap untuk berdialog dengan mereka, karena ahlul kitab suka debat. Ini juga menguatkan makna bashiroh dalam dakwah, yaitu selain memiliki ilmu tentang materi dakwah juga memiliki pengetahuan tentang kondisi orang-orang yang akan didakwahi. Bahkan memiliki ilmu tentang syubhat mereka. Karenanya bukanlah merupakan manhaj Nabi tatkala ada seseorang yang mendebat ahlul batil sementara ia tidak siap dan tidak mengetahui syubhat mereka.

Kedua : Hadits ini menunjukkan bahwa makna Laa ilaaha illallahu adalah at-Tauhid sebagaimana datang dalam riwayat-riwayat yang lain إِلَى أَنْ يَوَحِّدُوا اللهَ (agar mereka mentauhidkan Allah),  إِلَى عِبَادَةِ اللهِ(agar mereka beribadah kepada Allah), إِلَى تَوْحِيْدِ اللهِ (serulah mereka kepada pentauhidan Allah). Ini membantah ahlul bid’ah yang membatasi makna laa ilaaha illallahu pada makna tidak ada yang mampu menciptakan kecuali Allah. Karena kaum Yahudi dan Nashoro juga mengakui bahwa tidak ada pencipta kecuali Allah, maka buat apa lagi mereka disuruh untuk bertauhid. Ini jelas menunjukkan bahwa laa ilaaha illallahu artinya tauhidul ‘ibadah (tauhid al-Uluhiyah).

Ketiga : Hadits ini menunjukkan bahwa khobar ahad tetap harus diterima dan diamalkan meskipun dalam permasalahan aqidah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengutus Mu’adz seorang diri untuk menyampaikan aqidah, dan beliau tidak mengutus 10 orang bersama Mu’adz.

([4]) Unta-unta merah adalah harta kekayaan yang sangat berharga dan menjadi kebanggaan orang arab pada masa itu.

([5]) Dalil Ketiga : Sisi pendalilannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ali untuk menyampaikan Islam, yaitu Islam yang sesungguhnya yang merupakan syahadatain. Dan yang dihadapi oleh Ali bin Abi Tholib adalah Yahudi Khoibar, semisal dengan kaum yang didatangi oleh Muadz di negeri Yaman.

Lafal akhir dari hadits ini (sungguh Allah memberi hidayah kepada seseorang dengan sebab kamu itu lebih baik dari unta-unta yang merah) menunjukkan akan keutamaan dakwah, terutama dakwah kepada tauhid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :’

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barang siapa yang menunjukkan pada kebaikan maka baginya seperti pahala orang yang mengerjakannya’ (HR Muslim no 1893)

Lafal “kebaikan” dalam hadits adalah mencakup kebaikan dunia maupun kebaikan agama (lihat Subulus Salam 2/639).

Sebab wurud hadits ini sebagai berikut, dari Abu Mas’ud al-Anshori ia berkata :

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنِّي أُبْدِعَ بِي فَاحْمِلْنِي، فَقَالَ: «مَا عِنْدِي»، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَا أَدُلُّهُ عَلَى مَنْ يَحْمِلُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ»

“Seorang lelaki mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Sesungguhnya hewan tungganganku mati, maka berilah aku tunggangan untuk aku naiki !”. Nabi berkata, “Aku tidak memiliki hewan tunggangan untukmu”. Lalu ada seseorang berkata, “Ya Rasulullah, aku akan tunjukan kepadanya siapa yang bisa menyiapkan hewan tunggangan untuknya”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan baginya seperti pahala orang yang mengerjakannya”. (HR Muslim).

Perhatikanlah…orang ini hanya menunjukkan kepada siapa yang bisa menyiapkan tunggangan, dan bukan dia yang memiliki tunggangan. Namun meskipun demikian ia tetap mendapatkan pahala seperti yang memberi tunggangan. Karenanya ada khilaf di kalangan para ulama, apakah pahala yang memberi petunjuk sama persis seperti yang mengamalkannya?

An-Nawawi berkata :

وَالْمُرَادُ بِمِثْلِ أَجْرِ فَاعِلِهِ أَنَّ لَهُ ثَوَابًا بِذَلِكَ الفعل كما أن لفاعله ثوابا ولايلزم أَنْ يَكُونَ قَدْرُ ثَوَابِهِمَا سَوَاءً

“Maksudnya adalah pemberi petunjuk mendapatkan pahala atas dikerjakannya kebaikan tersebut sebagaimana pelaku kebaikan tersebut mendapatkan pahala, namun tidak mengharuskan kadar pahala keduanya sama” (Al-Minhaaj syarh Shahih Muslim 13/39).

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang sama hanyalah asal pahalanya dan tidak mencakup pelipat gandaannya (karena orang yang mengamalkan langsung pahala amalannya minimal dilipat gandakan 10 kali dan bisa lebih dari pada itu). Adapun Al-Qurthubi maka menurut beliau pahala yang memberi petunjuk sama persis dengan pahala yang mengamalkannya bahkan sama dalam pelipat gandaannya. Karena pahala bagian dari karunia Allah, dan Allah memberikannya kepada siapa yang Ia kehendaki atas model amalan apapun yang dilakukannya. (lihat Ad-Diibaaj ‘Alaa Shahih Muslim bin Al-Hajjaj karya As-Suyuthi 4/489).

Dan yang lebih kuat adalah pendapat al-Qurthubi rahimahullah, karena semuanya mudah bagi Allah, bahkan Allah memberikan kenikmatan kepada seorang hamba tanpa diminta oleh sang hamba sangatlah mudah bagi Allah, maka bagaimana lagi jika sang hamba telah melakukan sebab, meskipun hanya menunjukkan kepada kebaikan. Toh kekayaan Allah tidak berkurang sama sekali dan tiada batasnya.

Hadits ini juga sesuai dengan sabda Nabi :

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk kebaikan maka baginya pahala seperti pahala mereka yang mengikutinya, dan sama sekali tidak mengurangi pahala mereka” (HR Muslim no 2674)

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam contoh yang baik maka baginya pahalanya dan juga pahala mereka yang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi pahala mereka sama sekali” (HR Muslim no 1017)

Dari sini kita mengetahui benar akan kemuliaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena semua pahala umatnya juga kembali kepada Nabi, karena semua kebaikan yang mengajarkannya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari sini juga kita mengetahui akan kemuliaan para sahabat dan juga para salaf, karena semakin banyak kholaf (orang belakangan) yang melakukan kebaikan maka semakin banyak pula pahala yang mengalir kepada mereka (lihat Faidhul Qodiir 6/164-165)

Dari sini juga kita mengetahui kenapa jumhur ulama mengingkari pengiriman pahala qiro’ah al-Qur’an kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena hal itu tidak perlu dilakukan karena semua bacaan al-Qur’an yang dibaca oleh umat beliau secara otomatis akan mengalir kepada Nabi tanpa harus dikirimkan. Bahkan bukan hanya pahala al-qiro’ah, akan tetapi seluruh amalan mereka apapun juga akan mengalir kepada Nabi. Karenanya para sahabat dan para salaf tidak dinukil dari mereka seorangpun yang menghadiahkan pahala qiro’atul Qur’an kepada Nabi. Ibnu al-‘Atthoor –muridnya Imam An-Nawawi- berkata,

أَمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ الْعَزِيزِ فَمِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَأَمَّا إهْدَاؤُهُ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَلَمْ يُنْقَلْ فِيهِ أَثَرٌ مِمَّنْ يُعْتَدُّ بِهِ بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ لِمَا فِيهِ مِنْ التَّهَجُّمِ عَلَيْهِ فِيمَا لَمْ يَأْذَنْ فِيهِ مَعَ أَنَّ ثَوَابَ التِّلَاوَةِ حَاصِلٌ لَهُ بِأَصْلِ شَرْعِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَجَمِيعُ أَعْمَالِ أُمَّتِهِ فِي مِيزَانِهِ وَقَدْ أَمَرَنَا اللَّهُ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَحَثَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى ذَلِكَ وَأَمَرَنَا بِسُؤَالِ الْوَسِيلَةِ وَالسُّؤَالِ بِجَاهِهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُتَوَقَّفَ عَلَى ذَلِكَ

“Adapun membaca al-Qur’an maka termasuk ibadah yang paling afdhal. Adapun menghadiahkan pahalanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka tidak dinukil dari mereka yang diakui pendapatnya. Bahkan seharusnya dilarang, karena padanya ada bentuk melanggar melakukan perbuatan yang tidak diizinkan oleh nabi, padahal pahala tilawah akan sampai kepadanya sesuai dengan asal syari’at beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dan seluruh amal umatnya berada di timbangan kebaikan beliau. Allah telah memerintahkan kita bershalawat kepada beliau dan beliau juga menganjurkan hal tersebut, dan memerintahkan kita untuk memohonkan wasilah meminta dengan jah (kedudukan) beliau, maka hendaknya cukup berhenti pada hal ini” (Sebagaimana dinukil dalam Mawahibul Jalil 2/544)

Ini juga pendapat Al-Hafiz Ibnu Hajar (sebagaimana dinukil oleh muridnya As-Sakhowi dan disebutkan dalam Mawahibul Jalil 2/544-545), Taajuddin Al-Fazaari sebagaimana dinukil oleh Asy-Syarbini (Mughnil Muhtaaj 4/111), Ad-Dardiir Al-Maliki (asy-Syarh al-Kabiir, Hasyiat Ad-Dusuqi 2/10)

([6]) Hak Allah dalam Islam yang wajib dilaksanakan ialah seperti: shalat, zakat, puasa, haji dan kewajiban-kewajiban lainnya.

Bersambung Insya Allah…