BAB 7

مِنَ الشِّرْكِ لُبْسُ الْحَلَقَةِ وَالْخَيْطِ وَنَحْوِهِمَا لِرَفْعِ الْبَلاَءِ أَوْ دَفْعِهِ

TERMASUK KESYIRIKAN : MEMAKAI GELANG, BENANG DAN SEJENISNYA UNTUK MENGHILANGKAN ATAU MENANGKAL BENCANA ([1]).

Oleh Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc, M.A.
Sumber www.Firanda.com

 

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

قُلْ أَفَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّـهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّـهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ ۚ قُلْ حَسْبِيَ اللَّـهُ ۖ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Katakanlah (Hai Muhammad kepada orang-orang musyrik): Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhala itu dapat menghilangkan kemudharatan itu? Atau jika Allah menghendaki untuk melimpahkan suatu rahmat kepadaku apakah mereka mampu menahan rahmat-Nya? Katakanlah: Cukuplah Allah bagiku, hanya kepada-Nyalah orang-orang yang berserah diri bertawakkal.” (QS. Az Zumar: 38). ([2])

وعن عمران بن حصين -رضي الله عنه- أن النبي -صلى الله عليه وسلم- رأى رجلاً في يده حلقة من صُفر، فقال: (ما هذه؟ ) قال: من الواهنة، فقال: (اِنْزَعْهَا فَإِنَّهَا لاَ تَزِيْدُكَ إِلاَّ وَهْنًا، فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ)

Imran bin Husain radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki memakai gelang yang terbuat dari kuningan, kemudian beliau bertanya:

“Apakah itu? orang laki-laki itu menjawab: “gelang penangkal penyakit”, lalu Nabi bersabda: “lepaskan gelang itu, karena sesungguhnya ia tidak akan menambah kecuali kelemahan pada dirimu, dan jika kamu mati sedangkan gelang ini masih ada pada tubuhmu maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.” (HR. Ahmad dengan sanad yang bisa diterima) ([3])

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad pula dari Uqbah bin Amir, dalam hadits yang marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللهُ لَهُ، وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللهُ لَه )  وفي رواية: ( مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ )

“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah ([4]maka Allah tidak akan mengabulkan keinginannya, dan barangsiapa yang menggantungkan Wada’ah ([5]maka Allah tidak akan memberikan ketenangan kepadanya” dan dalam riwayat yang lain Rasul bersabda: “Barangsiapa yang menggantungkan tamimah maka ia telah berbuat kemusyrikan”. ([6])

ولابن أبي حاتم عن حذيفة أنه رأى رجلاً في يده خيط من الحمى فقطعه، وتلا قوله: {وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلاَّ وَهُم مُّشْرِكُونَ}

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Hudzaifah bahwa ia melihat seorang laki-laki yang di tangannya ada benang untuk mengobati sakit panas, maka dia putuskan benang itu seraya membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِاللَّـهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ

“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan lain)”. (QS. Yusuf: 106) ([7]).

Kandungan bab ini:

  1. Larangan keras memakai gelang, benang dan sejenisnya untuk tujuan-tujuan seperti tersebut di atas.
  2. Dikatakan bahwa sahabat Nabi tadi apabila mati sedangkan gelang (atau sejenisnya) itu masih melekat pada tubuhnya, maka ia tidak akan beruntung selamanya, ini menunjukkan kebenaran pernyataan para sahabat bahwa syirik kecil itu lebih berat dari pada dosa besar.
  3. Syirik tidak dapat dimaafkan dengan alasan tidak tahu. ([8])
  4. Gelang, benang dan sejenisnya tidak berguna untuk menangkal atau mengusir suatu penyakit, bahkan ia bisa mendatangkan bahaya, seperti sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam : “… karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu”.
  5. Wajib mengingkari orang-orang yang melakukan perbuatan di atas.
  6. Penjelasan bahwa orang yang menggantungkan sesuatu dengan tujuan di atas, maka Allah akan menjadikan orang tersebut memiliki ketergantungan pada barang tersebut.
  7. Penjelasan bahwa orang yang menggantungkan tamimah telah melakukan perbuatan syirik.
  8. Mengikatkan benang pada tubuh untuk mengobati penyakit panas adalah bagian dari syirik.
  9. Pembacaan ayat di atas oleh Hudzaifah menunjukkan bahwa para sahabat menggunakan ayat-ayat yang berkaitan dengan syirik akbar sebagai dalil untuk syirik ashghar, sebagaimana penjelasan yang disebutkan oleh Ibnu Abbas dalam salah satu ayat yang ada dalam surat Al Baqarah.
  10. Menggantungkan Wada’ah untuk mengusir atau menangkal penyakit, termasuk syirik.
  11. Orang yang menggantungkan tamimah didoakan: “semoga Allah tidak akan mengabulkan keinginannya” dan orang yang menggantungkan wada’ah didoakan: “semoga Allah tidak memberikan ketenangan pada dirinya.”

Keterangan (Footnote):

([1]) Beberapa perkara penting berkaitan dengan bab ini :

Pertama : Dimulai dengan bab ini (bab ke 7), penulis ingin menerangkan lebih lanjut tentang pengertian tauhid dan syahadat “La Ilaha Illallah”, dengan menyebutkan hal-hal yang bertentangan dengannya, yaitu : syirik dan macam macamnya, baik syirik akbar (besar) maupun syirik ashghar (kecil), karena dengan mengenal syirik sebagai lawan tauhid akan jelas sekali pengertian yang sebenarnya dari tauhid dan syahadat “La Ilaha Illallah”.

Kedua : Yang dimaksud dalam bab ini adalah semua yang dipakai untuk menolak bala’, tidak terbatas hanya pada gelang berupa tali, akan tetapi semua yang digantung, dipasang, atau dipakai. Seperti yang digantung di mobil atau hewan agar tidak terkena hasad atau terhindar dari bencana. Demikian juga tulisan yang ditempel di rumah-rumah dengan tujuan untuk menolak bala’. Termasuk juga foto-foto syaikh atau kiyai yang dipajang di rumah atau di toko dengan tujuan untuk menolak bala’.

Ketiga : Masalah memakai gelang dengan tujuan untuk menolak bencana pada asalnya adalah syirik kecil. Penulis mendahulukan penyebutan syirik kecil sebelum menyebutkan tentang syirik besar, karena syubhat yang ada pada syirik kecil (dalam hal ini adalah menggunakan jimat berupa gelang dan yang semisalnya untuk menolak bala/bencana) lebih ringan dibandingkan dengan syubhat-syubhat yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang meminta dan berdoa kepada para wali yang telah meninggal dunia. Apabila telah diketahui bahwasanya ketergantungan kepada jimat merupakan kesyirikan maka bagaimana lagi jika itu ketergantungan dengan wali-wali dan mayat orang-orang shalih yang telah meninggal dunia?

Keempat : Masalah memakai gelang untuk menolak bencana pada asalnya adalah syirik kecil, karena pada umumnya mereka yang menggunakan gelang -dan yang sejenisnya- sebagai jimat meyakini bahwa gelang tersebut hanyalah sebab saja, yang dengan sebab tersebut maka Allah akan menolak bala dan bencana.

Akan tetapi menggunakan gelang -dan yang sejenisnya- bisa berubah menjadi syirik besar jika pelakunya meyakini bahwa gelang tersebut bisa memberi pengaruh dengan sendirinya. Karena berarti dia telah meyakini ada pengatur selain Allah, dan hal ini termasuk syirik di dalam tauhid ar-Rububiyah. Akan tetapi nampaknya keyakinan seperti ini hampir tidak pernah ditemukan dalam masyarakat, wallahu a’lam.

Kelima : Bab ini sangat erat kaitannya dengan pemahaman tentang hakikat sebab.

Ada tiga kelompok manusia dalam memahami sebab :

Pertama : Kelompok yang menolak sebab. Mereka menganggap bahwa akibat terjadi bukan karena sebab, akan tetapi Allah lah yang telah menciptakan atau memunculkan akibat tatkala ada sebab, sedangkan sebab tersebut bukanlah yang mempengaruhi munculnya akibat. Mereka ini adalah golongan Jabariyah dan Asya’iroh yang juga dikenal dengan نُفَاةُ الأَسْبَابِ (para penolak sebab). Menurut mereka, jika ada seseorang yang memegang pisau yang tajam lalu pisau tersebut digunakan untuk memotong roti sehingga roti itu terpotong, maka terpotongnya roti tersebut bukanlah disebabkan oleh pisau yang tajam yang digerakkan oleh pemegang pisau, akan tetapi terpotongnya roti tersebut terjadi tatkala terjadi gerakan pisau tajam tersebut. Menurut mereka, pergerakan pisau yang tajam hanyalah tanda/alamat dan bukan sebab. Seperti halnya jika telah tiba bulan desember maka muncul musim dingin. Bulan desember bukanlah sebab munculnya musim dingin akan tetapi hanya sebagai tanda munculnya musim dingin.

Asya’iroh memiliki suatu teori yang dikenal dengan “al-Kasb” (كَسْبُ الأَشْعَرِيِّ), yaitu hamba sama sekali tidak memiliki qudroh (kemampuan) yang bisa berpengaruh dalam perbuatan-perbuatannya. Dan seluruh makhluk di alam semesta ini tidak memiliki qudroh mu’atssiroh (kekuatan yang memiliki pengaruh) terhadap apa yang terjadi di alam semesta ini. Karena jika makhluk/hamba memiliki pengaruh terhadap apa yang terjadi di alam semesta ini berarti sama saja kita menetapkan adanya pemberi pengaruh selain Allah, dan ini adalah kesyirikan.

Menurut ahlus sunnah :

إِنَّ الْمُسَبَّبَاتِ تَحْدُثُ بِالأَسْبَابِ مَعَ الْقَوْلِ بِأَنَّ الأَسْبَابَ وَالْمُسَبَّبَاتِ مَخْلُوْقَةٌ للهِ تَعَالَى وَرَبْطُهَا بِمَشِيْئَةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ

“Sesungguhnya musabbab (akibat) terjadi karena ada sebab, akan tetapi sebab dan akibat tersebut adalah ciptaan Allah dan berkaitan dengan kehendak Allah dan kekuasaanNya”

Adapun Asya’iroh berpendapat :

إِنَّ الْمُسَبَّبَاتِ تَحْدُثُ عِنْدَ الأَسْبَابِ

“Sesungguhnya akibat itu terjadi tatkala ada sebab (bukan karena sebab).”

Mereka tidak menafikan adanya qudroh pada seorang hamba, akan tetapi menurut mereka qudroh tersebut tidak bisa memberi pengaruh dan bukan merupakan sebab. Qudroh tersebut mereka namakan dengan “al-Kasb”. Mereka berkata :

الْكَسْبُ مُقَارَنَةُ الْقُدْرَةِ الْحَادِثَةِ لِلْفِعْلِ مِنْ غَيْرِ تَأْثِيْرٍ

“Al-Kasbu adalah teriringkannya al-qudroh yang haadits (baru dan bukan qodim) dengan muculnya perbuatan tanpa ada pengaruh (dari qudroh tersebut terhadap perbuatan)” (Syarh Ummul Baroohin hal 45)

At-Taftaazaani berkata :

فَالإِنْسَانُ مُضْطَرٌّ فِي صُوْرَةِ الْمُخْتَارِ

“Maka manusia itu sebenarnya dalam kondisi terpaksa namun kelihatannya berkehendak” (Syarh al-Maqoosid 4/263)

Ini adalah pendapat yang sangat aneh, untuk apa kita menetapkan bahwa manusia memiliki kehendak atau qudroh (kemampuan) namun kehendak dan kemampuan tersebut tidak memberi pengaruh apapun terhadap perbuatan yang terjadi yang ia lakukan.

Dan tentu ini adalah pendapat yang batil dan tidak masuk akal, karena dalam al-Qur’an terlalu banyak ayat yang menunjukkan akan keterkaitan antara sebab dan akibat, bahwasanya sebab mempengaruhi munculnya akibat, dan akibat terjadi karena adanya sebab. Diantaranya :

– Seluruh ayat yang menjelaskan adanya syarat dan jazaa’ (balasan) menunjukkan bahwa syarat (sebagai sebab) mempengaruhi munculnya balasan (sebagai akibat). Contoh firman Allah :

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan solusi/jalan keluar kepadanya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak sangka-sangka” (QS At-Tholaq : 2-3)

– Seluruh ayat yang menunjukkan ditetapkannya suatu hukum syar’i adalah karena adanya sifat yang disebutkan sebelumnya. Contoh firman Allah :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ

“Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina maka deralah masing-masing dengan seratus dera” (QS An-Nuur : 2)

Perhatikan dalam ayat ini Allah berfirman فَاجْلِدُوا (maka deralah), huruf al-faa’ (ف) menunjukkan bahwa hukum yang disebutkan setelah huruf al-faa’ (yaitu hukum dera) ditetapkan akibat adanya sifat yang terjadi yang disebutkan sebelum huruf al-faa’ (yaitu sifat adanya perzinahan)

– Seluruh ayat yang mengandung huruf al-baa’ (ب) yang menunjukkan munculnya akibat yang disebutkan setelah huruf al-baa’ tersebut, adalah karena adanya sebab yang disebutkan sebelum huruf al-baa’

Contoh : Firman Allah

كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ

“(Kepada mereka dikatakan) : Makan dan minumlah kalian dengan sedap disebabkan amal yang telah kalian kerjakan pada hari-hari yang telah lalu” (QS Al-Haaqqoh : 24)

– Seluruh ayat yang menyebutkan suatu akibat adalah merupakan balasan dari suatu sebab.

Contoh firman Allah :

أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Mereka itulah para penghuni surga, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan” (QS al-AHqoof : 14)

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :

تكلم قوم في إنكار الأسباب فأضحكوا ذوي العقول على عقولهم وظنوا أنهم بذلك ينصرون التوحيد فشابهوا المعطلة الذين أنكروا صفات الرب ونعوت كماله … فما أفادهم إلا تكذيب الله ورسله وتنزيهه عن كل كمال … ونظير من نزه الله في أفعاله وأن يقوم به فعل البتة وظن أنه ينصر بذلك حدوث العالم وكونه مخلوقا بعد أن لم يكن وقد أنكر أصل الفعل والخلق جملة.

ثم من أعظم الجناية على الشرائع والنبوات والتوحيد إيهام الناس أن التوحيد لا يتم إلا بإنكار الأسباب فإذا رأى العقلاء أنه لا يمكن إثبات توحيد الرب سبحانه إلا بإبطال الأسباب ساءت ظنونهم بالتوحيد وبمن جاء به وأنت لا تجد كتابا من الكتب أعظم إثباتا للأسباب من القرآن

“Suatu kaum mengingkari adanya sebab, yang menyebabkan orang-orang berakal menertawakan mereka. Kaum tersebut menyangka bahwa dengan menolak sebab berarti mereka telah menolong tauhid. Merekapun menyerupai al-mu’atthilah yang menolak sifat-sifat Allah yang maha sempurna…

Penolakan tersebut tidak memberi faidah kepada mereka melainkan pendustaan kepada Allah dan RasulNya dan peniadaan sifat-sifat yang sempurna dari Allah…

Hal ini mirip dengan orang yang menyatakan bahwa dalam perbuatan Allah tidak terjadi perbuatan yang baru sama sekali (yaitu orang-orang yang menolak as-sifaat al-ikhtiariyah-pent) lalu ia menyangka dengan demikian ia telah mendukung adanya حدوث العالم “kejadian alam” dan bahwasanya alam ini adalah makhluk yang tadinya belum ada, padahal ia sendiri telah menolak adanya perbuatan dan penciptaan pada Allah dengan penolakan secara asal dan keseluruhan.

Kemudian salah satu bentuk kejahatan terhadap syari’at, kenabian, dan tauhid adalah menjadikan orang-orang menyangka bahwasanya tauhid tidak akan sempurna kecuali dengan menolak sebab.  Jika ada orang-orang berakal yang melihat bahwasanya tauhid tidak akan sempurna kecuali dengan menolak sebab, maka mereka akan berprasangka buruk kepada tauhid dan kepada yang membawanya (yaitu Nabi). Padahal engkau tidak akan mendapati suatu kitabpun yang paling kuat dalam menetapkan adanya sebab seperti halnya al-Qur’an” (Syifaau al-‘Alill hal 189)

Berdasarkan filosofi “al-kasb” menurut Asyairoh, pada hakikatnya hamba tidaklah berbuat sama sekali, dikarenakan tidak memiliki qudroh (kemampuan) yang berpengaruh. Pemahaman seperti ini muncul disebabkan karena asyairoh tidak ingin menetapkan adanya qudroh yang berpengaruh kecuali hanya untuk Allah, sedangkan menetapkan adanya qudroh yang berpengaruh kepada selain Allah menurut mereka adalah kesyirikan.

Jika hamba pada hakikatnya tidak bertindak/berbuat, dan perbuatannya tersebut hanyalah majaz maka :

  • Yang melakukan perbuatan hamba pada hakikatnya adalah Allah. Jika sang hamba shalat maka yang shalat pada hakikatnya adalah Allah, karena Allah yang pada hakikatnya melakukan perbuatan tersebut. Seandainya ada hamba yang berzina? Jika mereka berkata bahwa yang melakukan perbuatan hamba tersebut adalah Allah maka perkataan ini merupakan kekufuran. Namun jika mereka mengatakan bahwa hambalah yang telah melakukannya secara hakikatnya maka hancurlah teori “al-kasb” tersebut
  • Menyiksa hamba atas perbuatan yang pada hakikatnya bukan ia yang melakukannya adalah kezhaliman, dan memberi pahala kepadanya atas ketaatan yang pada hakikatnya bukan ia yang melakukannya adalah hanya senda gurau.

Yang benar adalah seluruh perbuatan hamba benar-benar mereka yang melakukannya secara hakikat, dan perbuatan-perbuatan tersebut adalah ciptaan Allah.

Oleh karena itu, sebagian ulama asya’iroh –seperti Al-Juwaini- menyadari akan rusaknya aqidah al-Kasb ini. Beliau beranggapan bahwa aqidah al-kasb ini adalah bentuk pendustaan terhadap para rasul dan bentuk pembatalan perintah-perintah syari’at. Beliau berkata  :

فمن أحاط بذلك كله ، ثم استراب في أن أفعال العباد واقعة على حسب إيثارهم واختيارهم واقتدارهم، فهو مصاب في عقله، أو مستقر على تقليده، مصمم على جهله، ففي المصير إلى أنه لا أثر لقدرة العبد في فعله: قطعُ طلبات الشرائع، والتكذيبُ بما جاء به المرسلون…

“Barangsiapa yang mengerti akan ini semua, lalu ragu bahwa perbuatan-perbuatan para hamba terjadi sesuai dengan pengaruh mereka dan pilihan mereka serta qudroh mereka, maka sungguh akalnya bermasalah, atau tetap kukuh di atas taqlidnya dan tegar di atas kejahilannya. Dan pendapat yang menyatakan bahwa qudroh seorang hamba tidak memiliki pengaruh dalam perbuatannya merupakan bentuk memotong tuntutan-tuntutan syari’at dan bentuk pendustaan terhadap apa yang dibawa oleh para rasul”  (al-Aqidah an-Nizhomiyah hal 43-33)

Kenyataan yang ada di masyarakat yang mengaku beraqidah Asya’iroh, ternyata aqidah al-kasbu ini sulit untuk diyakini apalagi diterapkan, bagaimana mau diyakini sementara kebanyakan masyarakat tidak memahami aqidah al-kasbu ini. Bahkan banyak diantara mereka yang meyakini sebab-sebab yang ternyata bukan sebab. Contohnya banyak dari mereka yang menggunakan jimat-jimat dengan meyakini bahwa jimat-jimat tersebut hanyalah sebab.

Kedua : Kelompok yang berlebih-lebihan dalam menetapkan sebab hingga mereka menetapkan banyak perkara yang bukan sebab menjadi sebab. Kelompok ini kebanyakannya adalah kelompok ahli khurafat dan juga kaum sufiyah yang suka aneh-aneh

Ketiga : Kelompok yang menetapkan sebab dan akibat akan tetapi mereka tidak menjadikan/menetapkan sesuatu sebagai sebab kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya sebagai sebab, apakah sebab syar’i atau sebab kauni.  Mereka inilah ahlus sunnah wal jama’ah.

Adapun mengetahui sesuatu itu merupakan sebab atau bukan adalah dengan dua cara :

  • Dengan cara syar’i yaitu adanya dalil akan hal tersebut. Seperti madu adalah obat sebagaimana firman Allah,يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ(Keluar dari perut lebah minuman/madu yang beragam warnanya, padanya obat bagi manusia).Demikian juga misalnya membaca al-Qur’an adalah obat dengan cara ruqyah syar’iyyah
  • Dengan cara mencobanya dan terbukti secara dzha Seperti kebanyakan obat-obatan yang diketahui khasiatnya dengan penelitian atau dengan percobaan. dengan catatan dampak/efeknya harus jelas dan dzhahir. Adapun jika efeknya tidak jelas, maka tidak diperbolehkan. Karena pengguna jimat juga mengatakan bahwa jimat bermanfaat bagi mereka.

Allah telah menciptakan sebab dan akibat yang dikenal dengan sunnatullah, contoh api adalah sebab untuk membakar. Oleh karena itu, tatkala Nabi Ibrahim ‘alaihis salam hendak dibakar maka Allah memerintahkan kepada api untuk dingin dengan firman-Nya :

قُلْنَا يَانَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ

“Kami berkata, “Wahai api jadilah engkau dingin dan keselamatan bagi Ibrahim” (QS Al-Anbiyaa’ : 69).

Ini menunjukkan bahwa jika Allah tidak memerintahkan api untuk dingin maka api tersebut akan berjalan sesuai dengan hukum sebab akibat (sunnatullah) yaitu akan membakar.

([2]) Dalil Pertama : QS Az-Zumar ayat ke 38 secara khusus dan secara umum dari ayat pertama hingga ayat terakhir surat Az-Zumar berbicara tentang aqidah dan bantahan terhadap orang-orang yang menyimpang dalam permasalahan aqidah. Ada beberapa pembahasan dalam ayat ini.

Pertama : مَا dalam firman Allah أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ (terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah) adalah isim maushul yang merupakan salah satu dari lafal umum. Oleh karena itu, ayat ini berkaitan dengan semua yang disembah selain Allah. Dan sesembahan-sesembahan kaum musyrikin bermacam-macam modelnya.

  • Ada yang menyembah para nabi, seperti nabi Isa

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?”. Isa menjawab: “Maha Suci Engkau” (QS Al-Maidah : 116)

  • Ada yang menyembah para malaikat, Allah berfirman :

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلَائِكَةِ أَهَؤُلَاءِ إِيَّاكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ (40) قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنْتَ وَلِيُّنَا مِنْ دُونِهِمْ بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ أَكْثَرُهُمْ بِهِمْ مُؤْمِنُونَ (41)

Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat: “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikat itu menjawab: “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu” (QS Saba’ : 40-41)

  • Ada yang menyembah jin, Allah berfirman :

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

“Dan bahwasanya ada beberapa orang lelaki dari kalangan manusia meminta perlindungan kepada beberapa lelaki dari kalangan jin maka jin-jin itu semakin menambahkan bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS Al-Jinn : 6)

  • Ada yang menyembah orang-orang shalih, seperti menyembah Latta yang dahulunya adalah orang baik yang suka membagi-bagikan makanan bagi jama’ah haji.

Kedua : Firman Allah بِضُرٍّ (kemudorotan) dan  بِرَحْمَةٍ (rahmat/kebaikan) dalam ayat tersebut adalah kalimat nakiroh yang datang dalam konteks persyaratan, sehingga memberikan faidah keumuman, mencakup segala kemudorotan dan segala kebaikan. Maka seluruh kebaikan dan kemudorotan yang menguasainya hanyalah Allah. Adapun sesembahan-sesembahan selain Allah -siapapun dia, bahkan para malaikat dan para nabi- mereka tidak menguasai kemudorotan dan kemanfaatan sedikitpun.

Ketiga : Pendalilan ayat ini adalah Allah berhujjah dengan pengakuan kaum musyrikin terhadap tauhid ar-Rububiyah agar mereka bertauhid juga dalam perkara al-uluhiyah. Karena ayat tersebut jika kita baca secara sempurna, akan dijumpai bahwa sebelumnya Allah menyebutkan tentang pengakuan mereka terhadap rububiyah Allah.

Allah berfirman :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri (QS Az-Zumar : 38)

Berkata Ibnu Jarir at-Thobary menafsirkan ayat ini :

يَقُولُ تَعَالَى ذِكْرُهُ لِنَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَلَئِنْ سَأَلْتَ يَا مُحَمَّدُ هَؤُلَاءِ الْمُشْرِكِينَ الْعَادِلِينَ بِاللَّهِ الْأَوْثَانَ وَالْأَصْنَامَ: مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ؟ لَيَقُولُنَّ: الَّذِي خَلْقَهُنَّ اللَّهُ؛ فَإِذَا قَالُوا ذَلِكَ، فَقُلْ: أَفَرَأَيْتُمْ أَيُّهَا الْقَوْمُ هَذَا الَّذِي تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنَ الْأَصْنَامِ وَالْآلِهَةِ {إِنْ أَرَادَنِي اللَّهُ بِضُرٍّ} يَقُولُ: بِشِدَّةٍ فِي مَعِيشَتِي، هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتٌ عَنِّي مَا يُصِيبَنِي بِهِ رَبِّي مِنَ الضُّرِّ؟ {أَوِ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ} يَقُولُ: إِنْ أَرَادَنِي رَبِّي أَنْ يُصِيبَنِيَ سَعَةً فِي مَعِيشَتِي، وَكَثْرَةً مَالِي، وَرَخَاءً وَعَافِيَةً فِي بَدَنِي، هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتٌ عَنِّيَ مَا أَرَادَ أَنْ يُصِيبَنِيَ بِهِ مِنْ تِلْكَ الرَّحْمَةِ؟ وَتُرِكَ الْجَوَابُ لِاسْتِغْنَاءِ السَّامِعِ بِمِعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَدِلَالَةِ مَا ظَهْرَ مِنَ الْكَلَامِ عَلَيْهِ. وَالْمَعْنَى: فَإِنَّهُمْ سَيَقُولُونَ لَا، فَقُلْ: حَسْبِيَ اللَّهُ مِمَّا سِوَاهُ مِنَ الْأَشْيَاءِ كُلِّهَا، إِيَّاهُ أَعْبُدُ، وَإِلَيْهِ أَفْزَعُ فِي أُمُورِي دُونَ كُلِّ شَيْءٍ سِوَاهُ، فَإِنَّهُ الْكَافِي، وَبِيَدِهِ الضُّرُّ وَالنَّفْعُ، لَا إِلَى الْأَصْنَامِ وَالْأَوْثَانِ الَّتِي لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ، {عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ} يَقُولُ: عَلَى اللَّهِ يَتَوَكَّلُ مَنْ هُوَ مُتَوَكِّلٌ، وَبِهِ فَلْيَثِقْ لَا بِغَيْرِهِ وَبِنَحْوِ الَّذِي قُلْنَا فِي ذَلِكَ قَالَ أَهْلُ التَّأْوِيلِ

“Allah berkata kepada nabiNya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam : Jika engkau ya Muhammad bertanya kepada mereka kaum musyrikin yang menyekutukan Allah dengan berhala-berhala dan patung-patung, “Siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi?”. Sungguh mereka benar-benar akan berkata, “Yang telah menciptakannya adalah Allah”. Jika mereka telah mengucapkan hal itu maka katakanlah, “Maka terangkanlah kepadaku wahai kaum sekalian tentang yang kalian sembah selain Allah berupa berhala-berhala dan sesembahan-sesembahan (jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku) yaitu kesulitan dalam kehidupanku, apakah mereka bisa menghilangkan kemudorotan yang ditimpakan Robku kepadaku? (atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku), yaitu jika Robku hendak memberikan kelapangan dalam kehidupanku, harta yang banyak, kesenangan, dan tubuh yang sehat, maka apakah mereka bisa mencegah hal tersebut dariku?.

Jawabannya tidak disebutkan karena pendengarnya sudah mengetahui jawabannya disertai penunjukan konteks pembicaraannya.  Maknanya  yaitu mereka akan berkata : “Tidak”. Maka katakanlah : “Cukuplah Allah dari yang selainNya dari segala perkara, hanya kepadaNya-lah aku menyembah, kepadaNya-lah aku menuju dalam segala urusanku dan tidak kepada selainNya, karena Allah sudah mencukupi, dan hanya ditangan-Nya kemanfaatan dan kemudorotan, bukan kepada patung-patung dan berhala-berhala yang tidak memberi manfaat dan mudhorot. (Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri), yaitu hanya kepada Allah tempat bertawakkal orang-orang yang bertawakkal, maka percayalah kepada Allah dan tidak kepada selainNya. Dan pendapat para ahli tafsir seperti pendapat kami ini”  (Tafsir at-Thobari 20/211-212)

Keempat : Ayat ini pada asalnya berkaitan dengan kaum musyrikin yang terjerumus dalam syirik akbar. Akan tetapi ayat ini dijadikan dalil oleh penulis (Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab) untuk menolak syirik ashghor (syirik kecil) karena :

  • Syirik besar dan syirik kecil sama-sama merupakan bentuk ketergantungan -dalam mendapatkan manfaat dan menolak mudorot- kepada selain Allah. Syubhat yang menjadikan mereka terjerumus ke dalam syirik kecil atau syirik besar adalah sama, yaitu meyakini bahwasanya sesembahan-sesembahan tersebut bisa memberikan manfaat dan menolak kemudorotan. Maka dari sisi ini sama saja antara syirik kecil maupun syirik besar.
  • Penggunaan jimat bisa saja berubah menjadi syirik besar jika penggunanya meyakini bahwa jimat tersebut dapat memberi pengaruh dengan sendirinya (bukan hanya sekedar sebab)
  • Ternyata sebagian salaf/sahabat juga berdalil dengan ayat yang berkaitan dengan syirik besar untuk mengingkari syirik kecil -sebagaimana kisah Hudzaifah yang akan datang-

Kelima : Firman Allah

قُلْ حَسْبِيَ اللَّـهُ ۖ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“katakanlah: cukuplah Allah bagiku, hanya kepada-Nyalah orang-orang yang berserah diri bertawakkal.”

Menunjukkan bahwa kita menyerahkan segala urusan kepada Allah. Hal ini sebagaimana perkataan nabi Huud ‘alaihis salaam ketika kaumnya mengancamnya dengan berkata :

إِنْ نَقُولُ إِلَّا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ قَالَ إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (54) مِنْ دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنْظِرُونِ (55) إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Kami tidak mengatakan melainkan bahwa “sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu”. Huud menjawab: “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku

Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus”  (QS Huud : 54-56)

Allah juga berfirman :

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الحَكِيمُ

Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dialah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS Fathir : 2)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda berkata kepada Ibnu Abbas :

وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتِ الأقلام وجفَّت الصُّحُف

“Ketahuilah sesungguhnya umat ini seandainya seluruhnya bersatu untuk memberikan kepadamu suatu manfaat, mereka tidak akan bisa memberimu suatu manfaat apapun kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah bagimu. Dan jika mereka bersatu untuk memberikan kepadamu suatu kemudorotan maka mereka tidak akan bisa memberimu mudorot apapun kecuali yang telah ditetapkan Allah menimpamu. Pena telah diangkat dan buku catatan taqdir telah kering” (HR At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani)

([3]) Dalil Kedua : Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkari orang yang menggunakan gelang dalam rangka menolak penyakit.

Perawi hadits ini adalah sahabat mulia ‘Imron bin Husain, dalam riwayat yang lain, ternyata lelaki yang diingkari oleh Nabi karena memakai jimat adalah Imron bin Husain itu sendiri.

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عَضُدِي حَلْقَةٌ صُفْرٌ فَقَالَ: «مَا هَذِهِ؟» فَقُلْتُ: مِنَ الْوَاهِنَةِ. فَقَالَ: «انْبِذْهَا»

Dari ‘Imron bin Hushoin radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan di lengan atasku ada gelang tembaga. Maka Nabi berkata, “Apakah ini?”, maka aku berkata, “Karena kelemahan”. Lalu beliau berkata, “Buanglah gelang tersebut” (HR al-Hakim No. 7502 dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi)

Ini menunjukkan bahwa seseorang tatkala menceritakan pengalaman pribadi yang buruk, tidak harus menyebut langsung dirinya, tetapi ia boleh mengungkapkan dengan kata ganti orang ketiga.

Tentang Pertanyaan Nabi:  مَا هَذِهِ؟ (Apakah ini?), ada dua pendapat di kalangan para ulama. Ada yang berpendapat bahwa itu adalah pertanyaan istifsaar (untuk mengetahui hakikat penggunaan gelang tersebut), ada pula yang berpendapat bahwa pertanyaan tersebut adalah pertanyaan pengingkaran. Seakan-akan Nabi berkata, “Apa-apaan ini menggunakan jimat?”.

Secara dzhohir Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya dengan pertanyaan istifsar. Dan ini dalil bahwa Nabi tidak mengetahui isi hati orang tersebut, sehingga beliau bertanya terlebih dahulu. Jika isi hati seseorang Nabi tidak mengetahuinya apatah lagi perkara-perkara yang ghaib ?!

Lelaki tersebut menjelaskan sebab ia menggunakan gelang yaitu untuk menolak penyakit atau untuk pengobatan terhadap penyakit yang menimpanya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkarinya dengan menjelaskan bahwa hal itu hanya akan memberikan kemudorotan kepadanya di dunia dan di akhirat.

Di dunia : Alih-alih Dengan jimat tersebut ia memperoleh kekuatan dan kesembuhan malah hanya akan menambah kelemahan atas dirinya di dunia. Dan ini sesuai dengan kenyataan yang ada. Kita dapati orang yang memakai jimat justru selalu dalam kegelisahan, kekhawatiran, terlebih lagi jika jimatnya ketinggalan. Berbeda halnya dengan orang yang bertawakkal kepada Allah, hatinya akan tenteram, tenang, dan kuat.

Di akhirat : dan di akhirat ia tidak akan beruntung selama-lamanya. Jika ia meninggal dalam kondisi tidak bertaubat dari syirik kecil ini, maka ia tidak akan selamat selama-lamanya. Ini memperkuat dalil yang menyatakan bahwa syirik kecil tidak dimaafkan. (Akan tetapi sebagaimana telah berlalu penjelasan bahwa pendapat yang kuat adalah syirik kecil juga mungkin untuk dimaafkan. Silahkan kembali lagi ke pembahasan bab : الْخَوْفُ مِنَ الشِّرْكِ “Takut terhadap kesyirikan”)

Hadits ini merupakan dalil akan disyari’atkannya bernahi mungkar, dan bahwasanya jika suatu perkara yang ingin diingkari masih mengandung kemungkinan yang baik maka hendaknya ditanyakan terlebih dahulu maksud dan tujuannya. Adapun jika kemungkaran tersebut tidak mengandung kemungkinan kebaikan maka bisa langsung diingkari.

Hadits ini juga menunjukkan bahwa yang menjadi patokan adalah amalan seseorang di akhir hayatnya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بالخواتيم

“Sesungguhnya amalan ditentukan dengan akhirnya” (HR al-Bukhari No. 6607)

Karena Nabi berkata kepadanya (dan jika kamu mati sedangkan gelang ini masih ada pada tubuhmu maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya). Ini menunjukkan bahwa jika ia bertaubat sebelum meninggal maka tidak mengapa. Karena orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa.

([4]) Tamimah/jimat/azimat adalah sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak sebagai penangkal datangnya keburukan atau untuk menghilangkan keburukan yang telah datang atau untuk mendatangkan kebaikan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً (Barangsiapa yang menggantungkan jimat) yakni menggantungkan jimat kemudian hatinya bergantung pada jimat tersebut.

Tamimah dalam bahasa Arab diambil dari kata التَّمَامُ yang artinya  الْكَمَالُadalah (sempurna). Ibnu Faris berkata :

وَمِنْ هَذَا الْبَابِ التَّمِيمَةُ: كَأَنَّهُمْ يُرِيدُونَ أَنَّهَا تَمَامُ الدَّوَاءِ وَالشِّفَاءِ الْمَطْلُوبِ

“Termasuk dalam bab ini yaitu kata Tamimah. Seakan-akan mereka maksudkan bahwasanya dengan tamimah akan tercapai kesempurnaan pengobatan dan kesembuhan yang diharapkan” (Maqooyiis al-Lughoh 1/339, lihat juga Lisaanul ‘Arob 12/69-70)

Jadi, orang yang menggunakan tamimah/jimat berharap dengan tamimah tersebut urusannya akan dipermudah dan semakin sempurna. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata terhadap pengguna tamimah :

فَلاَ أَتَمَّ اللهُ لَهُ

“Allah tidak menyempurnakan (urusannya) baginya”

Pernyataan Ini bisa bermakna do’a dari beliau atau Nabi ingin menjelaskan kenyataan yang akan terjadi.

Bisa dimaknai sebagai doa dari Nabi karena Nabi terkadang menyuruh kita untuk mendoakan orang yang menyelisihi/bermaksiat agar tujuannya tidak tercapai. Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

مَنْ سَمِعَ رَجُلًا يَنْشُدُ ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ فَلْيَقُلْ لَا رَدَّهَا اللهُ عَلَيْكَ فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا

“Barangsiapa yang mendengar seseorang mengumumkan untuk mencari barang hilang di mesjid maka hendaklah berdoa “Semoga Allah tidak mengembalikan barang hilang tersebut kepadamu”, karena mesjid tidaklah dibangun untuk ini” (HR Muslim No. 568)

Demikian juga sabda beliau :

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي المَسْجِدِ، فَقُولُوا: لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ

“Jika kalian melihat ada orang yang menjual atau membeli di mesjid maka ucapkanlah (berdoalah) : “Semoga Allah tidak memberi keuntungan dalam perdaganganmu” (HR At-Tirmidzi No. 1321)

Pernyataan Nabi tersebut juga bisa untuk menjelaskan kenyataan kondisi orang yang memakai jimat. Realitanya orang yang menggunakan tamimah tidak akan sempurna urusannya, ia pun semakin terjebak dalam kegelisahan, karena hatinya tidak bergantung kepada Allah melainkan kepada jimat/tamimah tersebut.

Sabda Nabi تَمِيْمَةً (jimat apapun) adalah isim nakiroh dalam konteks persyaratan yang memberikan faidah keumuman, sehingga mencakup jimat dengan model apapun dan dengan tujuan apapun.

([5]) Wada’ah: adalah kerang kuwuk (yang biasa digunakan oleh orang Indonesia dalam permainan congklak). Menurut anggapan orang-orang jahiliyah, benda tersebut dapat digunakan sebagai penangkal penyakit. Oleh karena itu wada’ah adalah salah satu dari model-model jimat.

Nabi bersabda terhadap orang yang memakai wada’ah :

فَلاَ وَدَعَ اللهُ لَه

Bermakna لَا جَعَلَهُ فِي دَعةٍ وسُكُونٍ  “Allah tidak akan membiarkannya dalam ketentraman dan ketenangan”

Atau bermakna لَا خَفَّفَ اللَّهُ عَنْهُ مَا يَخافُه  “Allah tidak meringankan baginya apa yang ia takutkan/kawatirkan”  (lihat Lisaanul ‘Arob 8/381)

Ini menunjukkan bahwa orang yang menggantung wada’ah sebagai jimat akan selalu dalam kegelisahan karena telah hilang darinya ketenangan dan ketentraman. Hal ini disebabkan karena hatinya bergantung kepada jimat dan bukan kepada Allah. Barang siapa yang bergantung kepada makhluk -bahkan kepada manusia- niscaya ia tidak akan tenang. Bagaimana lagi jika ia menggantungkan hatinya kepada kerang??

([6]) Dalam riwayat yang lain :

مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka dia sungguh telah berbuat kesyirikan”

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Ini menunjukkan penekanan dari beliau bahwa menggunakan jimat apapun termasuk kesyirikan. Namun sebagaimana yang telah lalu bahwa hukum asalnya adalah syirik kecil dan akan berubah menjadi syirik besar jika penggunanya meyakini bahwa jimat tersebut bisa memberi manfaat dan menolak mudorot dengan sendirinya.

([7]) Dalil Ketiga : Pengingkaran Hudzaifah demikian juga pengingkaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelumnya terhadap orang yang memakai jimat, menunjukkan semangat para salaf dahulu dalam mengingkari kesyirikan. Padahal jimat pada asalnya adalah syirik kecil, bagaimana lagi jika hal tersebut merupakan syirik besar?. Akan tetapi karena di zaman sekarang kebodohan semakin tersebar, sampai-sampai sebagian orang yang dianggap ulama justru mengingkari dengan keras orang-orang yang mengingkari kesyirikan, bahkan syirik akbar !!. Jadilah sekarang para penegak tauhid diingkari dan diberi gelaran-gelaran yang buruk !!

Ayat yang dijadikan dalil oleh Hudzaifah adalah ayat yang turun berkaitan dengan kaum musyrikin Arab (syirik besar). Allah berfirman :

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِاللَّـهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ

“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan lain)”. (QS. Yusuf: 106)

Maksud ayat ini -sebagaimana penjelasan para salaf- yaitu mengenai keimanan kaum musyrikin bahwasanya mereka mentauhidkan Allah dengan tauhid ar-Rububiyah saja, mereka mengakui Allah sebagai pencipta, pengatur alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan, dll, akan tetapi mereka musyrik dalam tauhid al-‘Ibaadah.

Sikap Hudzaifah ini menunjukkan bahwa sebagian salaf mengingkari syirik kecil dengan berdalil melalui ayat yang berkaitan dengan syirik besar, karena kedua-duanya adalah syirik.

Sebagaimana pemahaman Ibnu Abbas terhadap firman Allah

فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا

“Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah” (QS Al-Baqoroh : 22) yang ayat ini turun berkaitan dengan kaum muysrikin Arab para pelaku syirik besar, akan tetapi juga mencakup syirik-syirik kecil. Ibnu Abbas berkata :

وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: وَاللَّهِ، وَحَيَاتِكَ يَا فُلانَةُ، وَحَيَاتِي. وَيَقُولُ: لَوْلا كَلْبُهُ هَذَا لأَتَانَا اللُّصُوصُ، وَلَوْلا الْبَطُّ فِي الدَّارِ لأَتَى اللُّصُوصُ. وقَوْلُ الرَّجُلِ لِصَاحِبِهِ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ، وَقَوْلُ الرَّجُلِ: لَوْلا اللَّهُ وَفُلَانٌ.

“Yaitu seseorang berkata, “Demi Allah, demi kehidupanmu wahai fulanah dan demi kehidupanku”. Begitu juga perkataan, “Kalau bukan karena anjingnya ini tentu para pencuri sudah datang kepada kita”, “Kalau bukan karena bebek angsa tentu pencuri sudah masuk”, atau perkataan seseorang kepada temannya, “Karena kehendak Allah dan kehendakmu”, dan perkataan seseorang, “Kalau bukan karena Allah dan si fulan” (Tafsir Ibnu Abi Haatim 1/62 No. 229 dan dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/96)

([8]) As-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Ini perlu ditinjau kembali, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “dan jika kamu mati sedangkan gelang ini masih ada pada tubuhmu maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya” tidaklah tegas menunjukkan maksud “jika ia mati meski dalam kondisi tidak tahu ilmunya”. Bahkan dzohir dari kalimat , “dan jika kamu mati sedangkan gelang ini masih ada pada tubuhmu maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya”  bermakna setelah engkau mengerti (akan haramnya jimat) dan setelah engkau diperintahkan untuk melepaskan/membuangnya.

Permasalahan ini (udzur karena kejahilan/ketidaktahuan) butuh perincian. Ketidaktahuan ada dua macam; ketidaktahuan yang menyebabkan seseorang diberi udzur dan ketidaktahuan yang seseorang tidak diberi udzur karenanya.

Seluruh perkara atau kondisi yang terjadi akibat seseorang tidak berusaha atau bermalas-malasan padahal faktor untuk belajar sudah ada maka tidak ada udzur baginya, baik kesalahan yang dilakukannya berupa kekufuran maupun kemaksiatan.

Adapun jika ia sudah berusaha dan tidak bermalas-malasan, demikian juga tidak ada faktor yang mendorongnya untuk menuntut ilmu karena tidak pernah terbetik di benaknya sama sekali bahwa hal itu haram, maka pada kondisi tersebut ia diberi udzur. Jika ia beragama Islam maka kesalahannya tersebut sama sekali tidak akan memudorotkannya. Namun jika ia non muslim maka ia divonis kafir di dunia, akan tetapi di akhirat perkaranya diserahkan kepada Allah -menurut pendapat yang lebih kuat- dan ia akan diuji. Jika ia taat maka ia masuk surga, dan jika ia membangkang maka ia akan masuk neraka.

Dengan demikian barangsiapa yang hidup di daerah terpencil yang sangat jauh dan tidak ada ulama di sana serta tidak terbetik dalam hatinya sama sekali bahwa perkara ini adalah haram atau wajib, maka ia diberi udzur….

Adapun seseorang yang kondisinya adalah sebaliknya, seperti orang yang tinggal di kota dan dia mungkin untuk bertanya, akan tetapi ia bermalas-malasan dan lalai, maka orang seperti ini tidak diberi udzur” (al-Qoul al-Mufiid 1/173-174)

Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab juga memberi udzur kepada pelaku syirik akbar karena kejahilan -tentu dengan kaidah-kaidah yang berlaku-. Beliau pernah berkata :

وأما الكذب والبهتان، فمثل قولهم: إنا نُكَفِّرُ بالعموم، ونوجب الهجرة إلينا على من قدر على إظهار دينه، وإنا نكفر من لم يُكَفِّرْ، ومن لم يقاتل، ومثل هذا وأضعاف أضعافه، فكل هذا من الكذب والبهتان، الذي يصدون به الناس عن دين الله ورسوله.

وإذا كنا لا نكفر من عبد الصنم، الذي على عبد القادر، والصنم الذي على قبر أحمد البدوي، وأمثالهما، لأجل جهلهم، وعدم من ينبههم، فكيف نكفر من لم يشرك بالله إذا لم يهاجر إلينا، أو لم يُكَفِّرْ ويُقَاتِلْ؟: {سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ} [سورة النور آية: 16]

“Adapun kedustaan dan kebohongan (yang dituduhkan kepada kami-pent) seperti tuduhan mereka bahwa kami mengkafirkan secara umum, kami mewajibkan atas orang yang mampu menunjukkan agamanya agar berhijrah kepada kami, kami mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan, kami mengkafirkan orang yang tidak berperang, dan yang semisal dengan ini masih banyak lagi. Ini semuanya adalah kedustaan dan kebohongan yang dengan cara ini mereka hendak menghalangi manusia dari agama Allah dan RasulNya. Jika kami tidak mengkafirkan orang-orang yang menyembah berhala yang ada di kuburan Abdul Qodir, atau menyembah berhala yang ada di atas kuburan Ahmad al-Badawi atau yang semisal dengannya, karena kebodohan/kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang memperingatkan mereka, lantas bagaimana kami bisa mengkafirkan orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah hanya karena tidak berhijrah kepada kami? Atau kami mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan dan orang yang tidak berperang?. Maha suci Allah, ini adalah kedustaan yang besar !”  (Ad-Duror As-Saniyyah 1/104)

Beliau juga berkata :

وأما ما ذكر الأعداء عني، أني أُكَفِّر بالظن وبالموالاة، أو أكفّر الجاهل الذي لم تقم عليه الحجة، فهذا بهتان عظيم، يريدون به تنفير الناس عن دين الله ورسوله

“Adapun apa yang disebutkan oleh para musuh dariku bahwasanya aku mengkafirkan hanya dengan berdasarkan persangkaan dan dengan loyalitas, atau aku mengkafirkan orang jahil/bodoh yang belum tegak hujjah kepadanya, maka ini merupakan kedustaan besar. Dengan cara ini mereka ingin menjauhkan manusia dari agama Allah dan RasulNya” (Ad-Duror As-Saniyah 10/113)

Beliau juga berkata :

وإنما نكفر من أشرك بالله في إلهيته بعد ما تبين له الحجة على بطلان الشرك

“Dan kami hanyalah mengkafirkan orang yang berbuat syirik kepada Allah dalam uluhiyyahNya setelah jelas baginya hujjah/argumen akan batilnya kesyirikan” (Majmu’aat Muallafaat As-Syaikh 5/60)

Beliau juga berada diatas jalan para ulama yang membedakan antara takfir al-muthlaq (yaitu kafir secara hukum) dengan takfir al-mu’ayyan (vonis kafir terhadap individu tertentu). Beliau berkata :

إن صاحب البردة وغيره، ممن يوجد الشرك في كلامه، والغلو في الدين، وماتوا، لا يحكم بكفرهم، وإنما الواجب إنكار هذا الكلام، وبيان أن من اعتقد هذا على الظاهر، فهو مشرك كافر; وأما القائل: فيرد أمره إلى الله سبحانه، ولا ينبغي التعرض للأموات، لأنه لا يعلم هل تابوا أم لا

“Sesungguhnya penyair al-Burdah dan selainnya yang mana terdapat kesyirikan dalam perkataan-perkataan mereka dan sikap berlebih-lebihan dalam agama kemudian mereka meninggal, maka tidak divonis kafir. Yang wajib adalah mengingkari perkataan-perkataan (syirik) tersebut, dan menjelaskan bahwasanya barang siapa yang meyakini keyakinan seperti ini sebagaimana dzohirnya maka ia adalah musyrik kafir. Adapun pengucapnya maka perkaranya dikembalikan kepada Allah. Hendaknya tidak perlu menyinggung orang-orang yang sudah meninggal, karena tidak diketahui apakah mereka telah bertaubat atau belum” (Ad-Duror As-Saniyyah 10/147-148)

Membedakan antara takfiir al-muthlaq dengan takfiir al-mu’ayyan menunjukkan adanya udzur karena kebodohan dan ketidaktahuan. Perlu adanya penegakkan hujjah/argumen untuk menghilangkan kejahilan/kebodohan, baru vonis kafir bisa ditegakan atau tidak. Wallahu a’lam bis showaab.

Bersambung Insya Allah…