Sumber rumaysho.com

Apa saja pelajaran yang bisa diambil dari siksaan yang menimpa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya?

 Pertama: Rasa aman dan tenang adalah suatu nikmat

Harapan yang paling besar yang diidam-idamkan oleh sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dapat menunaikanibadah dengan aman dan tenang. Para sahabat sangat bergembira ketika berhijrah ke Habasyah karena mereka dapat menunaikan ibadah dengan tenang dan tak ada satu pun yang menghalangi mereka.

Allah memerintahkan kepada kita beribadah kepada-Nya sebagai wujud nikmat aman yang dianugerahkan pada kita.

لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (1) إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (2) فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (3) الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ (4)

Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Al-Quraisy: 1-4)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan bahwa rasa aman adalah suatu nikmat yang besar. Coba perhatikan hadits berikut.

Dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al-Anshary radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi, no. 2346; Ibnu Majah, no. 4141. Abu ’Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib).

Oleh karenanya nikmat ini jangan sampai diingkari. Allah Ta’ala berfirman,

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. An-Nahl: 112).

Gara-gara mengingkari nikmat, akhirnya datanglah musibah. Bentuk dari mengingkari nikmat adalah dengan mendustakan ajaran Rasul. Dalam ayat disebutkan,

وَلَقَدْ جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْهُمْ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمُ الْعَذَابُ وَهُمْ ظَالِمُونَ

Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. An-Nahl: 113).

Kedua: Muslim yang shalih bisa jadi dihina, dipukul; sebaliknya ada yang dihormati, dimuliakan sementara ia adalah orang yang sesat

Kita patut merenungkan ayat semacam ini,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16)

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.”(QS. Al Fajr: 15-16)

Ketika menerangkan ayat di atas, Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’alamengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rezeki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rezeki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ

Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al-Mu’minun: 55-56)

Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rezeki, ia merasa bahwa Allah menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rezeki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rezeki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak.  Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan disempitkan rezeki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar. Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”

 

Ketiga: Iman itu kenikmatan yang luar biasa, maka jagalah

Iman sangat-sangat berharga. Jika para raja tahu nikmatnya iman di dada, pasti mereka akan mencabutnya. Para salaf mengatakan,

لَوْ يَعْلَمُ المُلُوْكُ وَأَبْنَاءُ المُلُوْكِ مَا نَحْنُ فِيْهِ لَجَلِدُوْنَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوْفِ

“Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui kenikmatan yang ada di hati kami ini, tentu mereka akan menyiksa kami dengan pedang.” Lihat Shahih Al-Wabil Ash-Shayyib, antara hlm. 91-96, Penerbit Dar Ibnul Jauziy.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

إِنَّ اللهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لاَ يُحِبُّ ، وَلاَ يُعْطِي الإيْمَانَ إِلاَّ مَنْ يُحِبُّ

Sesungguhnya Allah memberi dunia pada orang yang Allah cinta maupun tidak. Sedangkan iman hanya diberikan kepada orang yang Allah cinta.” (Diriwayatkan oleh Al-Maruzi dalam Zawaid Az-Zuhd, Ibnu Abi Syaibah 3:294, Bukhari dalam Adab Al-Mufrad, 279, sanadnya shahihkata Syaikh ‘Ali Al-Halabi dalam tahqiq beliau terhadapa kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ karya Ibnul Qayyim).

 

Keempat: Makin tinggi iman, makin berat cobaan

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR. Tirmidzi, no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al-Albani).

Juga dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah, no. 4031, hasan kata Syaikh Al-Albani).

Moga Allah beri ketabahan dalam menghadapi segala macam ujian.

 

Referensi:

  1. Fikih Sirah Nabawiyah. Dr.Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Darus Sunnah.
  2. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Imam Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Sumber rumaysho.com