Tercelanya Menafsirkan Al-Qur’an Tanpa Ilmu

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.
Artikel: Muslim.or.id

 

Saudaraku, menafsirkan al-Qur’anul-Karim dengan sekadar akal dan tanpa dilandasi oleh ilmu adalah perbuatan yang haram. Barangsiapa yang berkata tentang al-Qur’an dengan akalnya maka dia telah memaksakan sesuatu yang dia tidak memiliki ilmu tentangnya dan tidak menapaki jalan yang telah diperintahkan untuknya. Jika tafsirnya tersebut ternyata kebetulan benar, maka dia tetap telah melakukan kesalahan, karena dia tidak memasuki perkara tafsir ini dari pintunya. Maka, bagaimana lagi jika tafsirnya tersebut ternyata salah dan justru bertentangan dengan syari’at?

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, orang yang paling mulia dari kalangan umat ini setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata,

أي أرض تُقلُّني، وأي سماء تُظلُّني، إذا قلت في كتاب الله ما لم أعلم؟

“Bumi mana yang akan membawaku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku berkata tentang Kitabullah sesuatu yang aku tidak tahu?”

Demikian pula Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Walaupun beliau adalah mufassir umat ini dan telah didoakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bisa menguasai tafsir al-Qur’an, beliau tetap menahan diri untuk berkata sesuatu tentang al-Qur’an jika hal itu tidak dilandasi oleh ilmu. Ibn Abi Mulaikah rahimahullah berkata,

سأل رجل ابن عباس عن {يوم كان مقداره ألف سنة}، فقال له ابن عباس: فما {يوم كان مقداره ألف سنة}؟ فقال الرجل: إنما سألتك لتحدِّثني، فقال ابن عباس: هما يومان ذكرهما الله في كتابه، الله أعلم بهما، وأكره أن أقول في كتاب الله بما لا أعلم.

“Seseorang bertanya kepada Ibn ‘Abbas tentang ayat, ‘Satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun.’ Maka Ibn ‘Abbas berkata kepadanya: Ada apa dengan ayat tersebut, ‘Satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun’? Orang tersebut berkata: Aku bertanya kepadamu agar kamu menjelaskan ayat tersebut kepadaku. Maka Ibn ‘Abbas berkata: Ini adalah dua hari yang Allah sebutkan di Kitab-Nya, dan Allah lebih mengetahui tentang kedua hari tersebut. Dan aku benci untuk berkata tentang Kitabullah dengan sesuatu yang aku tidak tahu.”

Adapun perkataan para salaf bahwa mereka tidak berbicara sama sekali tentang tafsir, maka yang dimaksud adalah perkataan yang tidak didasari oleh ilmu. Malik rahimahullah berkata,

عن يحيى بن سعيد، عن سعيد بن المسيب، أنه كان إذا سُئل عن تفسير آية من القرآن، قال: إنا لا نقول في القرآن شيئا.

“Dari Yahya ibn Sa’id, dari Sa’id ibn al-Musayyib, bahwa jika beliau ditanya tentang tafsir sebuah ayat al-Qur’an, maka beliau menjawab: Sesungguhnya kami tidak berbicara apapun sama sekali mengenai al-Qur’an.”

Ibn Syaudzab rahimahullah berkata,

حدَّثني يزيد بن أبي يزيد قال: كنا نسأل سعيد بن المسيب عن الحلال والحرام، وكان أعلم الناس، فإذا سألناه عن تفسير آية من القرآن سكت كأن لم يسمع.

“Yazid ibn Abi Yazid berkata kepadaku: Kami bertanya kepada Sa’id ibn al-Musayyib tentang halal dan haram, di mana beliau adalah orang yang paling berilmu. Akan tetapi ketika kami bertanya kepadanya tentang tafsir ayat al-Qur’an, maka beliau diam seolah tidak mendengar sama sekali.”

Sikap Sa’id ibn al-Musayyib rahimahullah ini adalah seolah-olah beliau tidak mau berbicara tentang al-Qur’an sama sekali secara mutlak. Akan tetapi, sebuah riwayat dari al-Laits rahimahullah menjelaskan sikap beliau dengan lebih utuh,

عن يحيى بن سعيد، عن سعيد بن المسيب، أنه كان لا يتكلم إلا في المعلوم من القرآن.

“Dari Yahya ibn Sa’id, dari Sa’id ibn al-Musayyib, bahwa beliau tidak berbicara apapun sama sekali kecuali tentang sesuatu yang telah diilmui dari al-Qur’an.”

Hal ini sejalan dengan perintah syari’at bagi kita untuk tidak menyembunyikan ilmu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَإِذ أَخَذَ اللَّـهُ ميثـٰقَ الَّذينَ أوتُوا الكِتـٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنّاسِ وَلا تَكتُمونَهُ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.” [Surat Ali ‘Imran: 187]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من سُئل عن علم فكتمه أُلجم يوم القيامة بلجام من نار.

“Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu kemudian dia menyembunyikannya, maka dia akan dikekang pada hari kiamat dengan tali kekang dari neraka.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidziy]

Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk bersikap pertengahan. Tidak boleh bagi kita untuk berbicara tentang al-Qur’an tanpa ilmu. Tetapi, jika kita sudah mengetahui ilmunya, maka tidak boleh bagi kita untuk menyembunyikannya. Wajib bagi kita untuk menyampaikan dan mendakwahkan ilmu tersebut, terlebih ketika umat sangat membutuhkannya di tengah banyaknya orang yang berani berbicara tentang tafsir dengan sekadar akalnya tanpa dilandasi oleh ilmu.

@ Dago, Bandung, 15 Syawwal 1441 H

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.or.id

@almaaduuriy / andylatief.net

Referensi:

  1. Jami’ul-Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur’an, karya ath-Thabariy.
  2. Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Ibn Katsir.