Metode Dakwah dengan Memancing dan Menggugah Perasaan
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id
Sebagian da’i berdakwah dengan cara memancing perasaan dan menggugah perasaan dengan berbagai macam cara, dan ini dijadikan asas dari dakwahnya. Ini sebuah kekeliruan dalam berdakwah.
Karena hakikat dakwah itu menjelaskan Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafus shalih, disertai dengan pengamalan. Menjelaskan ilmu dan mengamalkannya. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
“Katakanlah (wahai Muhammad): ini adalah jalanku aku berdakwah kepada Allah di atas bashirah (ilmu), aku dan orang-orang yang bersamaku” (QS. Yusuf: 108).
Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah manusia kepada jalan Allah dengan hikmah (ilmu) dan nasehat yang baik. Dan debatlah mereka dengan cara yang baik” (QS. An Nahl: 125).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan:
ونرى أيضاً من الدعاة من عنده قدرة على الدعوة وعلى التأثير فينتفع الناس به، لكن نرى من بعض الدعاة من يغلو في بعض الأمور وتحمله العاطفة على سلوك ما لا ينبغي أن يسلكه
“Kami melihat sebagian da’i (yang berilmu) ada yang memiliki kemampuan untuk menggugah perasaan dalam dakwahnya dan itu bermanfaat bagi manusia. Namun ada juga sebagian da’i yang berlebihan dalam sebagian perkara, sehingga ia menggunakan metode menggugah perasaan sehingga menghasilkan suatu tabiat yang tidak baik”
Beliau juga mengatakan:
أما بالنسبة لعموم الناس فإننا نقول لهم: الواجب أن تنظروا إلى العلم؛ لأن العلم هو الأصل. وأما القدرة على التأثير وعلى الدعوة فهذا باب آخر، فكم من إنسانٍ جاهلٍ في ميزان أهل العلم بالشريعة، لكن عنده قوة تأثير حينما يتكلم بوعظٍ أو ما أشبه ذلك، فالواجب على الإنسان ألا يأخذ دينه إلا ممن هو أهل للأخذ منه
“Adapun terkait dengan orang awam, kami katakan, wajib bagi mereka untuk memperhatikan ilmu. Karena yang jadi landasan (dakwah) itu ilmu. Adapun kemampuan menggugah perasaan itu bab lain. Betapa banyak orang yang jahil dalam pandangan ulama, namun dia bisa menggugah perasaan ketika berbicara nasehat dan semisalnya. Maka wajib bagi seseorang untuk tidak mengambil ilmu agama kecuali dari orang yang layak untuk diambil ilmunya” (Majmu’ Fatawa war Rasail, juz 26 hal 309).
Beliau juga mengatakan:
ولا يشترط في الداعية أن يبلغ مبلغاً كبيراً في العلم ، لكنه يشترط أن يكون عالماً بما يدعو إليه ، أما أن يقوم عن جهل ويدعو بناء على عاطفة عنده فإن هذا لا يجوز
“Tidak disyaratkan seorang da’i itu ilmunya sangat banyak. Namun disyaratkan baginya berilmu tentang apa yang ia dakwahkan. Adapun berdakwah di atas kejahilan hanya bermodal bisa menggugah perasaan, ini tidak diperbolehkan!” (Fatawa Syar’iyyah li Masail ‘Ashriyyah, hal. 859).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika menyampaikan ilmu kepada para sahabat, seringkali para sahabat menangis dan tergugah perasaannya. Sebagaimana dalam hadits Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu:
صلَّى بنا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم الصُّبحَ ذاتَ يَومٍ، ثم أقبَلَ علينا، فوَعَظَنا مَوعِظةً بَليغةً ذَرَفَتْ منها العُيونُ، ووَجِلَتْ منها القُلوبُ
“Suatu hari kami shalat subuh bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau pun memberi nasehat kepada kami dengan nasehat yang mendalam. Yang membuat air mata berlinang dan hati bergetar…” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”).
Namun yang membuat para sahabat menangis adalah perkataan yang mengalir dari lisan yang mulia, lisan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Mereka menangis karena mendengarkan ilmu. Bukan sekedar karena gaya bahasa atau retorika.
Maka menggugah perasaan jika dalam kebaikan, harus didasari dan disertai dengan ilmu. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah juga mengatakan:
العواطف عواصف ان لم تقيد بالكتاب والسنة دمرت كل شيء
“Perasaan bagaikan angin topan, jika tidak diikat dengan Al Kitab dan As Sunnah akan merusak segala sesuatu”.
Maka ketika seorang da’i menyampaikan Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafus shalih, dan itu membuat orang yang didakwahinya dengan sendirinya tergugah dan menangis, ini suatu kebaikan. Karena mereka tergugah dan menangis di atas ilmu.
Dan dakwah yang sukses dan berkah adalah dakwah yang dilandasi dengan ilmu. Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh menjelaskan:
فيتبين لك من هذا أنهم أخذوا هذا العلم عن دليل وبرهان ويقين ، وهذا هو الذي يبقي صف الدعوة قويًّا ، أما الدعوة التي تقوم على انفعالات وعلى عواطف فليست مهيئة لامتداد
“Maka jelaslah bagi anda bahwa bahwa para ulama mengambil ilmu ini dengan dalil dan bukti yang yakin. Inilah yang membuat dakwah kuat. Adapun dakwah hanya yang dibangun di atas emosi dan perasaan ini tidak akan berlangsung lama” (Durus wa ‘Ubar min Syiar Imam Ad Da’wah [transkrip audio]).
Maka dakwah kepada Allah wajib di atas ilmu, menjelaskan ilmu dan mengamalkan ilmu. Dengan demikian sang da’i berada dalam kebaikan dan memberikan kebaikan kepada orang yang ia dakwahkan.
Selain itu, dalam berdakwah juga wajib ikhlas hanya mengharapkan wajah Allah semata. Bukan mengharapkan pujian dan banyaknya penggemar, dengan cara menggugah perasaan audiens atau dengan cara-cara lainnya. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan amalan hanya untuk Allah semata” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita hamba-hamba yang ikhlas. Wallahu waliyyut taufiq.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id