Fatwa Ulama: Adakah Bid’ah Hasanah?

Penerjemah: Muhammad Fadli, ST.
Artikel: Muslim.or.id

 

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Apakah ada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah?

Jawaban:

A’udzubillah! Selamanya tidak akan ada yang namanya bid’ah hasanah. Makhluk yang paling mengetahui akan syari’at, yang paling fasih ucapannya, dan paling menginginkan kebaikan untuk manusia, telah bersabda,

كل بدعة ضلالة

“Setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. An-Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih An-Nasa-i).

Kata “kullu” (كل) adalah termasuk siyagh al-umum” (bentuk umum), bahkan bentuk umum yang paling kuat. Beliau bersabda “Setiap bidah adalah sesat” dan tidak mengecualikan darinya sesuatu pun. Apa yang diperbuat manusia dan disangkanya sebagai bid’ah hasanah tidak lepas dari dua kemungkinan. Pertama, itu sesuatu yang bukan bid’ah, tetapi dianggapnya bid’ah. Atau yang kedua, sesuatu yang tidak hasanah (baik) tetapi dianggapnya hasanah. Adapun menyatukan bid’ah dan hasanah sekaligus, maka ini mustahil.

Oleh karena itu, kita mengingkari kaum yang membuat-buat zikir-zikir tertentu di pagi dan petang hari baik dikerjakan sendirian maupun berjamaah. Kita ingkari mereka, ketika mereka membuat sesuatu yang tidak terdapat dalil dari As-Sunnah. Walaupun mereka menganggap itu baik dan mereka memandang bahwa sesungguhnya perbuatan itu memiliki keutamaan.

Sumber: Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb lil-‘Utsaimin, Al-Maktabah Asy-Syamilah, 4: 2.

==========

Pertanyaan:

Pendengar dari Etiopia bertanya: Para ulama besar membagi bid’ah menjadi lima jenis. Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “setiap bidah adalah sesat. (Dan) setiap kesesatan di neraka”. Bagaimana pendapatmu dalam hal ini wahai fadhilatusy-syaikh?

Jawaban:

Tidak ada perkataan seorang pun yang boleh mendahului sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling mengetahui tentang agama Allah. Dia adalah makhluk yang paling tulus menghendaki kebaikan untuk para hamba Allah dan manusia yang paling fasih tentang apa yang beliau sabdakan. Apabila kita meyakini ketiga perkara tersebut, konsekuensinya kita meyakini bahwa sabda beliau adalah al-haq (kebenaran). Yang tidak memungkinkan untuknya dipertentangkan dengan sesuatu pun dari perkataan manusia. Maka kita katakan, setiap pembagian yang disebutkan oleh sebagian ulama yang bertentangan dengan dalil, maka wajib untuk dianulir, dan (kemudian) diambil apa yang ditunjukkan oleh dalil.

Setiap orang yang berkata tentang bid’ah, bahwa bid’ah itu baik, bisa jadi ternyata itu bukan bid’ah, tetapi dia tidak tahu bahwa itu bukan bid’ah. Atau bisa jadi itu bukan hasanah (kebaikan), tetapi dia anggap sebagai kebaikan. Adapun jika itu bid’ah yang hakiki dan sekaligus juga suatu hasanah (kebaikan), maka ini tidak mungkin sama sekali. Karena hal ini berkonsekuensi menganggap dusta sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersabda,

كل بدعة ضلالة

“Setiap bid’ah adalah kesesatan.”

Hal yang sudah dimaklumi bahwa adh-dhalalah (kesesatan) itu tidak ada kebaikan sama sekali di dalamnya. Bahkan seluruhnya adalah keburukan dan kebodohan. Barangsiapa yang menyangka bahwa ada satu bid’ah yang hasanah, maka dia tidak keluar dari salah satu dari dua keadaan yang sudah kita sebutkan tadi. Yaitu, bisa jadi sesungguhnya itu bukan bi’dah; atau bisa jadi sebenarnya itu bukan hasanah. Namun demikian, setiap bid’ah adalah sayyi’ah (keburukan) dan dhalalah (kesesatan), serta bukan hasanah (kebaikan).

Jika Engkau bertanya, “Apa jawaban dari pernyataan ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu tatkala beliau mengumpulkan manusia dalam qiyam Ramadhan bersama diimami oleh ‘Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhuma, kemudian beliau (Umar radhiyallahu ‘anhu) memerintahkan mereka untuk salat bersama orang-orang 21 rakaat. Kemudian beliau keluar dan orang-orang pun salat. Lalu beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

نعمت البدعة هذه

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.

‘Umar radhiyallahu ‘anhu menamakannya bid’ah dan menyanjungnya dengan perkataannya, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.

Jawabannya, bahwasanya ‘Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menamakannya sebagai bid’ah karena perbuatan itu adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan dalam agama Allah. Akan tetapi, karena amalan itu mujaddadah (diadakan lagi setelah sempat tidak ada). Beliau menamakannya bid’ah untuk menyatakan tajdid (dihidupkan kembali setelah sempat tidak ada) saja. Namun, amalan qiyam Ramadhan itu telah shahih adanya dalam syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya telah shahih keterangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melakukan qiyamul lail bersama orang-orang pada tiga malam di bulan Ramadhan. Kemudian beliau ‘alaihi ash-shalatu wa sallam tidak datang di malam yang keempat dan bersabda,

إني خشيت أن تفرض عليكم

“Sesungguhnya aku khawatir itu akan diwajibkan atas kalian”.

Sabda beliau ini berarti bahwa amalan tersebut hukumnya sunnah. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sampai merutinkannya, agar tidak dirutinkan oleh manusia sehingga mereka diwajibkan untuk mengerjakannya.

Oleh karena itu, telah jelas bahwasanya qiyamnya orang-orang di Ramadhan secara berjamaah di masjid-masjid merupakan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagian dari sunnahnya, dan bukan bid’ahnya Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana orang yang disangka oleh orang yang tidak paham konteks hadits.

Sumber: Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb lil-‘Utsaimin, Al-Maktabah Asy-Syamilah, 4: 2.

Penerjemah: Muhammad Fadli, ST.
Artikel: Muslim.or.id