Hukum Shalat Berjamaah dengan Shaf Renggang

Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id

 

Dalam rangka mencegah penularan wabah, sebagian masjid yang mengadakan shalat berjama’ah mengatur shaf shalat agar berjauhan antara satu orang dengan lainnya. Semisal jarak satu orang dengan yang lain sejauh 1 meter atau sekitar itu. Bagaimana hukum mengerjakan shalat dengan cara demikian?

Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini. Sebagian melarangnya dan sebagian membolehkannya. Kita simak fatwa mereka berikut ini.

Fatawa para ulama yang melarang

  1. Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad

Soal:

Di sebagian Masjid orang-orang mengerjakan shalat dengan keadaan satu orang dengan yang lain terdapat celah sekitar satu atau dua meter. Mereka mengklaim hal tersebut dilakukan untuk mencegah penularan penyakit. Bagaimana hukum shalat dengan cara seperti itu?

Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah menjawab:

لا تصح الصلاة ويعتبرون أفراداً كما لو صلوا منفردين

“Shalat berjamaah dengan cara seperti itu, hukumnya tidak sah. Mereka dianggap seperti shalat secara sendiri-sendiri sebagaimana jika mereka melakukan shalat seorang diri”

(Hal ini ditanyakan kepada beliau pada kajian kitab al-Muwaththa’ hari Sabtu, 19 Rajab 1441 H / 14 Maret 2020)

  1. Fatwa Syaikh Ali Abu Haniyyah

Beliau mengatakan:

مما رأيته وسئلت عنه مرارا هذه الليلة صلاة التراويح هذه التي أداها بعض المصلين في ساحة مواقف سيارات في مدينة يافا المحتلة وعلى هذه الهيئة..

فأقول:

١. صلاة التراويح شعيرة ظاهرة تصلى في المساجد كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم وأحياها عمر الفاروق رضي الله عنه، وأما تعمد إحيائها في الساحات والمواقف بهذه الصورة مع التسليم بغلق المساجد فهذا خلاف المقصود.

٢. أرى البعض يحاول الفرار من البيوت وصلاة التراويح فيها جماعة بالأهل، والبحث عن جماعة هنا أو هناك ليندس فيها، ولا أرى ذلك إلا تقصيرا في حق اهل بيته من جهة، وعدم ارتباط كثير من المسلمين بالقرآن وحسن تلاوته من جهة أخرى. 

٣. هذه الصلاة العجيبة في هذا الزمن العجيب غير مشروعة من حيث اعتبارها صلاة جماعة وهيأتها هذه غير واردة في السنة بل وصفها إلى البدعة أقرب منه إلى السنة.

٤. ذهب بعض أهل العلم إلى أن هؤلاء المصلين يُعدّون فرادى لا جماعة لتباعدهم وعدم تراصهم ولا تسوية صفوفهم..

٥. مع قولنا بعدم المشروعية إلا أننا لا نستطيع القول ببطلان هذه الصلاة لوجود من يفتي من أهل العلم بجوازها ولكننا نقول: الصلاة في البيوت خير منها.

والله أعلم

نسأل الله أن يوفق جميع المسلمين لما يحب ويرضى..

 علي أبو هنية المقدسي

١ رمضان ١٤٤١هجري

أيام حصار كورونا

Terkait dengan apa yang aku lihat dan ditanyakan kepadaku berulang kali malam ini, tentang shalat tarawih yang dilaksanakan sebagian orang di lahan parkir sebagaimana yang diadakan di kota Jaffa dengan tata cara demikian, maka saya nyatakan:

  1. Shalat tarawih adalah syiar yang nyata yang dilaksanakan di masjid sebagaimana dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan dihidupkan kembali oleh Umar Al Faruq radhiallahu’anhu. Maka mengadakannya di tempat parkir dengan sengaja, karena ditutupnya masjid-masjid, ini bertentangan dengan tujuan awalnya.
  2. Saya melihat sebagian orang yang pergi dari rumahnya sehingga tidak melaksanakan shalat tarawih bersama keluarganya di rumah, lalu kemudian mencari-cari jama’ah shalat tarawih di sana-sini untuk diikuti. Pertama, yang saya lihat ini adalah sikap taqshir (lalai) terhadap hak keluarga di rumah. Kedua, ini cerminan sikap kurangnya menyibukkan diri dengan Al Qur’an dan membacanya dengan baik
  1. Tata cara shalat yang aneh seperti ini diwaktu yang ajib (yaitu masa krisis), tidaklah disyariatkan jika dipandang sebagai shalat berjama’ah. Dan tata cara seperti ini tidak terdapat dalam Sunnah. Bahkan mensifatnya sebagai kebid’ahan lebih dekat daripada sebagai Sunnah.
  2. Sebagian ulama memandang bahwa orang yang shalat dengan cara demikian, dianggap sebagai shalat sendirian bukan shalat berjama’ah, karena jama’ahnya saling berjauhan dan tidak merapatkan shaf serta tidak meluruskannya.
  3. Ketika saya menyatakan hal ini tidak disyariatkan, di sisi lain saya tidak mampu mengatakan bahwa shalat seperti ini tidak sah karena adanya sebagian ulama yang memfatwakan bolehnya shalat dengan cara seperti ini. Namun saya nyatakan, shalat di rumah lebih baik daripada shalat dengan cara seperti ini.

Semoga Allah ta’ala memberikan taufik untuk kaum Muslimin kepada perkara yang Allah cintai dan Allah ridhai

Ali Abu Haniyyah Al Maqdisi

1 Ramadhan 1441H

Di masa-masa isolasi corona

Sumber: https://web.facebook.com/aliabuhaniya/posts/2654307008174041

  1. Fatwa Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi

Beliau menjelaskan:

في مسألة صلاة الجماعة في المساجد-مُتباعدين- بسبب (وباء الكورونا)-:

نحن بين قولين اشتهرا-كطرفَي نقيض-:    ١-مَن توسّع في الجواز!  ٢-ومَن ضيّق بالبطلان!

وكلاهما فيه نظرٌ-عندي-!

ومنذ طُرحت هذه المسألة-ومِن اللحظة الأولى-توسّطتُ القولَ-ولله الحمد-: فأفتيتُ بصحّة الصلاة، مع مخالفة فعل التباعُد لواجب التراصّ، وضبط الصفوف.

وقد أفتى شيخُنا العلامةُ الجليل عبدالمحسن العباد البدر-حفظه الله ورعاه-في حكم الصلاة-مع هكذا تباعُد-:

أنها صلاة فُرادى.

…اللهمّ أذهِب عن هذه الأمّةِ الوباء والبلاء وكلَّ داء.

“Dalam masalah shalat jama’ah di masjid dengan shaf renggang karena sebab wabah corona, maka kami berada di antara dua pendapat yang masyhur: 1. orang-orang yang bermudah-mudah membolehkan, dan 2. yang mempersempit masalah ini hingga menyatakan batalnya shalat tersebut. Kedua pendapat ini tidak tepat menurut saya.

Sejak munculnya masalah ini pertama kalinya, maka saya bersikap pertengahan -walhamdulillah-. Saya berpendapat shalat yang demikian tetap sah, namun terdapat mukhalafah (kekeliruan) karena renggangnya shaf padahal merapatkan shaf itu wajib dan wajib pula merapikan shaf.

Dan guru kami, Syaikh Al Allamah Abdul Muhsin Al Abbad, telah memfatwakan bahwa shalat yang demikian dianggap shalat sendirian.

Ya Allah, hilangkanlah bencana, wabah dan setiap penyakit dari umat ini…”

Sumber: https://t.me/alhalape/5648

Fatawa para ulama yang membolehkan

  1. Fatwa Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili

Beliau mengatakan:

يسأل المسلمون في البلدان التي يسمح فيها بالصلاة في المساجد بشرط التباعد بين المصلين عن حكم الصلاة في تلك الحال، والجواب أن الأصل تراص الصفوف وعندالجمهور تكره الصلاة في الصف المتقطع والحاجة تسقط الكراهة،وهذه الجائحة حاجةشديدةفتجوز الصلاة مع التباعد بشرط أن يكون في الصف أكثرمن واحد

“Kami ditanya tentang kaum Muslimin di negeri-negeri yang masih membolehkan shalat di masjid (di masa wabah) dengan syarat shafnya renggang berjauhan, bagaimana hukum shalat dengan kondisi demikian? Jawaban kami, hukum asalnya shalat itu dengan merapatkan shaf. Menurut jumhur ulama, makruh hukumnya shalat yang terputus shafnya. Sedangkan adanya hajat menggugurkan kemakruhan. Dan adanya kebutuhan untuk itu di masa ini, sangat mendesak sekali. Maka boleh shalat dengan shaf renggang berjauhan dengan syarat dalam satu shaf ada lebih dari satu orang”

Sumber: https://twitter.com/solyman24/status/1254473430956683270

  1. Fatwa Syaikh Sa’ad Asy Syatsri

Beliau mengatakan:

“Tidak diragukan, upaya pencegahan penyakit untuk menjaga nyawa dan menghentikan penyebaran penyakit merupakan perkara taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘azza wa jalla. Namun demikian, merapatkan shaf adalah perkara yang disyariatkan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ، ولا تذروا فرجات للشيطان 

“Luruskan shaf dan luruskan pundak-pundak serta tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap saudaramu. Dan jangan kalian biarkan ada celah untuk setan” (HR. Abu Daud no. 666, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Namun perintah merapatkan shaf ini tidak sampai wajib namun sifatnya mustahab (sunnah) menurut jumhur ulama. Oleh karena itu, kami memandang shaf yang renggang tidak berpengaruh pada keabsahan shalat. Lebih lagi ketika ada udzur yang membutuhkan adanya jarak.

Dan jumhur ulama dari kalangan ulama 4 madzhab menyatakan bahwa merapatkan shaf tidak wajib, mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

سوُّوا صفوفَكم فإنَّ تسويةَ الصَّفِّ مِن تمامِ الصَّلاةِ

“Luruskanlah shaf kalian karena lurusnya shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat” (HR.  Bukhari no.723, Muslim no.433)

Menunjukkan bahwa perkara meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya mustahab bukan termasuk rukun atau wajib shalat. Karena yang disebut تمامِ (penyempurna) dari sesuatu artinya itu adalah perkara tambahan dari asalnya. Demikian juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

وأَقِيمُوا الصَّفَّ في الصَّلَاةِ، فإنَّ إقَامَةَ الصَّفِّ مِن حُسْنِ الصَّلَاةِ

”Luruskanlah shaf dalam shalat, karena lurusnya shaf dalam shalat adalah bagian dari bagusnya shalat” (HR. Bukhari no. 722, Muslim no.435).

Menunjukkan bahwa merapikan shaf itu sunnah tidak wajib. Karena andaikan itu wajib maka tidak disebut “bagian dari bagusnya shalat”. Karena unsur bagus dari sesuatu berarti unsur tambahan dari sesuatu tersebut.

Demikian juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada Anas bin Malik:

ما أَنْكَرْتُ شيئًا إلَّا أنَّكُمْ لا تُقِيمُونَ الصُّفُوفَ

“Tidaklah ada yang aku ingkari dari kalian, kecuali satu hal yaitu kalian tidak meluruskan shaf” (HR. Bukhari no.724).

Namun Rasulullah tidak memerintahkan beliau untuk mengulang shalat. Ini menunjukkan bahwa merapatkan shaf bukan perkara wajib. Dan meninggalkannya tidak berpengaruh pada keabsahan shalat. Sebagaimana ini pendapat jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf, ini juga pendapat imam 4 madzhab. Yang berpendapat wajib adalah Imam Ibnu Hazm Az Zhahiri yang ia menyelisihi para fuqaha. Oleh karena itu penerapan shaf renggang dalam shalat jama’ah tidak berpengaruh pada keabsahan shalat”.

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=GZeU-qZDr4U

  1. Fatwa Syaikh Musthafa Al Adawi

Soal:

Apakah boleh shalat berjama’ah dengan shaf renggang karena ada wabah corona? Semisal antara setiap orang berjarak 1 meter?

Beliau menjawab:

 تجوز مع عندنا نصوصا لكن الضرورة تجوز المحظورة

“Hal ini dibolehkan walau ada nash-nash (yang memerintahkan untuk merapatkan), namun kondisi darurat membolehkan yang tidak dibolehkan”

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=ACQcdHERDRs

  1. Fatwa Syaikh Utsmain Al Khamis

Beliau mengatakan: 

“Jika pemerintah mengizinkan untuk mengadakan shalat Jum’at yang dihadiri sepuluh orang misalnya yang posisinya saling berjauhan. Dengan asumsi berpegang pada pendapat bahwa shalat Jum’at sah dengan minimal tiga orang atau dua orang, tidak sampai 40 orang. Maka kita katakan, silakan hadiri, dengan posisi saling berjauhan dan mengupayakan berbagai sarana pencegahan (penyebaran wabah).

Perkaranya kembali kepada izin pemerintah. Jika pemerintah mengizinkan untuk mengadakan shalat jum’at dengan tata cara seperti ini maka ini tidak mengapa”.

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=FT-pK7Yau3U

Sebab perbedaan pendapat

Jika kita mengamati dengan cermat penjelasan para ulama di atas, sebab adanya perbedaan pendapat mengenai masalah ini berputar pada dua perkara:

  1. Apakah merapatkan shaf itu wajib ataukah sunnah?
  2. Andaikan wajib, apakah adanya wabah menjadi udzur untuk menggugurkan perkara yang wajib?

Ulama yang membolehkan shalat dengan shaf renggang di masa wabah, mereka berpegang pada pendapat jumhur ulama bahwa merapatkan shaf tidaklah wajib. Sebagaimana ini dijelaskan dengan sangat terang oleh Syaikh Sa’ad Asy Syatsri dan Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili di atas. Atau, andaikan wajib maka kewajiban ini gugur dengan adanya udzur berupa kondisi wabah, sebagaimana zahir dari fatwa Syaikh Musthafa Al ‘Adawi.

Sedangkan ulama yang melarang shalat dengan shaf renggang berpegang pada pendapat bahwa merapatkan shaf hukumnya wajib. Dan tidak ada udzur untuk mengugurkan kewajiban ini, mengingat terdapat dalil-dalil yang membolehkan untuk shalat di rumah ketika ada masyaqqah (kesulitan), sehingga shalat tetap bisa dilaksanakan tanpa harus mengugurkan kewajiban shalat.

Hati kami lebih tenang pada pendapat yang pertama, yang melarang tata cara shalat dengan shaf renggang. Namun tetap berkeyakinan bahwa shalat seperti itu sah. Mengingat dalil-dalil yang zahirnya menunjukkan kewajiban merapatkan shaf. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

اقيمو صفوفكم وتراصوا, فانيِّ اراكم من وراء ظهري

“luruskan shaf kalian dan hendaknya kalian saling menempel, karena aku melihat kalian dari balik punggungku” (HR. Al Bukhari no.719).

dalam riwayat lain, terdapat penjelasan dari perkataan dari Anas bin Malik,

كان أحدُنا يَلزَقُ مَنكِبَه بمَنكِبِ صاحبِه، وقدمَه بقدمِه

“Setiap orang dari kami (para sahabat), merapatkan pundak kami dengan pundak sebelahnya, dan merapatkan kaki kami dengan kaki sebelahnya” (HR. Al Bukhari no.725).

Dan wajib menempelkan kaki dengan kaki orang disebelahnya, serta pundak dengan pundak di sebelahnya. Inilah hakekat merapatkan shaf. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ، ولا تذروا فرجات للشيطان ومن وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله

“Luruskan shaf dan luruskan pundak-pundak serta tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap saudaramu. Dan jangan kalian biarkan ada celah untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, Allah akan menyambungnya. Barangsiapa yang memutus shaf, Allah akan memutusnya” (HR. Abu Daud no. 666, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Al Bukhari rahimahullah. Dalam Shahih-nya, membuat judul bab:

بَاب إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ  وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ

“Bab menempelkan pundak dengan pundak dan kaki dengan kaki dalam shaf. An Nu’man bin Basyir berkata: aku melihat seorang di antara kami menempelkan pundaknya dengan pundak sahabatnya”.

Dan ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. Dan juga mengingat ijma’ ulama tentang bolehnya meninggalkan shalat jama’ah ketika ada masyaqqah, dan shalat di rumah. Sehingga tidak perlu menggugurkan kewajiban merapatkan shaf. Dan juga mengingat tidak terdapat dalil kuat terhadap tata cara shalat dengan shaf renggang demikian dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam atau pun para salaf.

Namun ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang longgar, yang para ulama pun berlonggar-longgar menyikapinya. Sehingga kita pun hendaknya bersikap longgar sebagaimana longgarnya para ulama. Kita bertoleran kepada orang lain yang beda pendapat dalam masalah ini, dan tidak mengingkari praktek shalat dengan shaf renggang, karena dikuatkan oleh banyak fatawa para ulama Ahlussunnah.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id