Sikap Terhadap Pencela Allah, Pencela Nabi Atau Pencela Islam
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id
Hukum mencela Allah, mencela Rasulullah atau mencela Islam
Soal:
Apa hukum mencela Allah atau mencela Rasul-Nya, atau merendahkan keduanya? Dan apa hukum menentang satu saja dari perintah yang Allah wajibkan? Atau menghalalkan apa yang Allah haramkan? Mohon jelaskan kepada kami, karena banyak sekali hal ini terjadi di tengah masyarakat.
Syaikh menjawab:
Semua orang yang mencela Allah subhanahu wa ta’ala, apapun bentuk celaannya, atau mencela Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, atau para Rasul yang lainnya, apapun bentuk celaannya, atau mencela Islam, atau merendahkan Allah atau Rasul-Nya, maka ia kafir dan murtad dari Islam. Walaupun orang tersebut mengaku Muslim. Ulama ijma’ (sepakat) akan hal ini. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Katakanlah: apakah dengan ayat-ayat Allah dan Rasul-Nya, kalian berolok-olok? Tidak perlu minta maaf, kalian telah kafir setelah sebelumnya beriman” (QS. At Taubah: 65-66).
Al Allamah Abul Abbas Ibn Taimiyyah rahimahullah telah berpanjang lebar membahas masalah ini dalam kitab beliau berjudul Ash Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul. Siapa yang ingin mempelajari masalah ini lebih banyak beserta dalil-dalilnya, silakan merujuk pada kitab tersebut. Karena kitab ini agung dan penulisnya juga mulia, serta sangat luas ilmunya, rahimahullah.
Demikian juga hukum bagi orang yang menentang satu saja dari perintah yang Allah wajibkan, atau menghalalkan apa yang Allah haramkan yang termasuk perkara ma’lum minad diin bid dharurah (perkara yang secara gamblang diketahui oleh orang Muslim). Seperti menentang wajibnya shalat, menentang wajibnya zakat, menentang wajibnya puasa Ramadhan, menentang wajibnya haji bagi orang yang mampu, menentang wajibnya berbakti kepada orang tua, dan semisalnya, atau menghalalkan minum khamr, menghalalkan durhaka kepada orang tua, menghalalkan harta dan darah orang lain tanpa hak, menghalalkan riba, dan semisalnya, yang termasuk perkara ma’lum minad diin bid dharurah, berdasarkan ijma ulama ia kafir murtad dari Islam, walaupun mengaku Muslim.
Para ulama telah berpanjang lebar dalam pembatal-pembatal keislaman ini, khususnya dalam bab tentang murtad. Mereka telah menjelaskan dalil-dalilnya. Siapa yang ingin mempelajarinya lebih lanjut, silakan merujuk kepada kitab-kitab para ulama dalam bab ini. Baik ulama dari kalangan Hanabilah, Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah dan yang selain mereka. InsyaAllah akan didapatkan penjelasan yang memuaskan dari kitab-kitab mereka.
Dan tidak boleh memberikan udzur bil jahl kepada mereka. Karena ini perkara-perkara yang sudah gamblang diketahui oleh kaum Muslimin. Dan hukumnya sudah jelas dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.
Wallahu waliyyut taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa aalihi wasallam.
(Majmu Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah, 7/45).
Sikap terhadap pencela agama
Soal:
Ketika ada da’i yang mendakwahkan Islam dan mendakwahkan tentang shalat, lalu ketika itu ada orang yang mencela agama dan menghina Rasul serta mencela Allah, bagaimana sikap kita?
Syaikh bertanya: siapa yang mencela?
Penanya: yang mencela adalah yang didakwahi
Syaikh menjawab:
Pertama, hendaknya dia dinasehati dan dijelaskan bahwasanya itu perbuatan kufur dan sesat. Orang-orang yang hadir juga hendaknya menasehatinya, berbicara dengannya dan menjelaskan kekeliruannya.
Jika ia bertaubat, alhamdulillah. Jika tidak, maka diangkat perkaranya kepada pemerintah. Jika pemerintahnya menerapkan syari’at Allah, maka diangkat perkaranya kepada pemerintah. Untuk kasus seperti ini, pelaku harus diberi hukuman, bahkan dipenjara.
Namun jangan langsung serahkan kepada pemerintah, namun nasehati terlebih dahulu. Ajak bicara ia dengan perkataan tegas jika ia terus-menerus melakukan perbuatan batil tersebut. Ancam dia bahwa ia akan dilaporkan kepada ulil amri. Mudah-mudahan ia mau kembali ke jalan yang benar.
Karena mencela agama itu perbuatan riddah (mengeluarkan pelakunya) dari Islam, na’udzubillah. Mencela Rasulullah juga perbuatan riddah dari Islam. Andaikan seseorang mengatakan: “Rasulullah tidak paham masalah seperti ini, tidak tahu masalah ini…”, atau mengatakan: “Rasulullah orang kampung, tidak paham masalah seperti ini dan itu…” ini adalah riddah dari Islam, dan merupakan kufur akbar, na’udzubillah.
Atau seseorang mengatakan: “Aturan syariat ini tidak benar…”, “Aturan syariat ini tidak cocok untuk zaman sekarang…”, “Syariat ini itu hanya cocok untuk zaman dulu…”, ini juga riddah, na’udzubillah.
Sumber:
Pencela agama, jika ia shalat apakah dianggap bertaubat?
Soal:
Bagaimana hukum orang yang pernah mencela agama atau mencela Allah? Namun ketika datang waktu shalat, ia pun berwudhu dan shalat wajib. Apakah dengan ia melaksanakan shalat wajib dapat dianggap bahwa ia telah mengumumkan taubatnya?
Syaikh menjawab:
Mencela agama dan mencela Allah adalah kemurtadan yang besar. Sekali lagi saya katakan, ini kemurtadan yang besar dari Islam. Na’udzubillah.
Yang wajib dilakukan oleh pelakunya adalah bersegera untuk bertaubat, menyesal dan berhenti melakukan perbuatan tersebut. Tidak cukup dengan shalat. Karena shalat belum memenuhi (syarat taubat dari murtad). Namun wajib bertaubat dengan tulus atas perbuatan yang ia lakukan. Dan bertekad untuk tidak mengulang lagi perbuatan tersebut. Karena perbuatan jahat yang ia lakukan ini sangat fatal. Maka tidak boleh bermudah-mudahan dalam perkara ini. Wajib bagi dia untuk taubat dengan segera.
Dan hakikat dari taubat adalah menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan, dengan penuh menyesal dan kesedihan yang mendalam karena telah melakukannya. Disertai tekad yang tulus untuk tidak mengulanginya lagi. Dan sebelum ia lakukan ini semua, shalatnya tidaklah sah. Karena shalatnya dianggap sebagai shalat orang yang kafir. Maka wajib untuk bertaubat sebelum ia shalat.
Sumber:
***
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id